Pendidikan Jarak Jauh di Tengah Wabah Covid 19, Antara Realitas, Fanatisme, dan Hijrah 

oleh: Anisti Basri, S.Sos. M.Si*)

Hampir bisa dipastikan semua orang yang waras merasakan khawatir bahkan cenderung paranoid ketika mendengar sekaligus merasakan suasana serangan wabah virus Covid 19. Kekhawatiran terjadi hampir di seluruh pelosok dunia lantaran kaget sekaligus panik. Karena sifat virus ini yang mampu menyebar dengan mudah ke sesama manusia, punya daya tahan hidup yang relatif lama pada benda-benda, belum ditemukan obatnya dan mematikan.

Inilah yang menyebabkan segalanya manjadi ‘kacau’. Terlebih jumlah orang yang terinfeksi dan korban meninggat akibat covid 19 –pada saat tulisan ini dibuat bukannya turun tapi terus alami trend peningkatan. Di Cina pun, yang lebih dulu terpapar virus Covid 19 dan diangap telah berhasil menanganinnya belakangan malah tersiar khabar bahwa virus ini menyerang kembali dengan serangan gelombang kedua. Situasi pun semakin rumit. Tidak ada yang bisa memastikan kapan akan berakhir.

Berbagai aspek kehidupan berjalan tidak sebagaimana mestinya, termasuk dunia pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang sudah dibentuk dari level TK sampai perguruan tinggi dan yang sedang berjalan pun berubah. Mengingat cara penyebaran virus Covid 19 ini yang begitu cepat dan kebijakan pemerintah daerah yang membatasi perjumpaan antar anggota masyarakat, maka proses pendidikan dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi yang semula mengandalkan tatap muka langsung mencari alternatif lain.

Sedianya perubahan yang dilakukan ini  bukan karena inovasi dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Melainkan berubah karena serangan Covid 19, kalau tidak ingin disebut perubahan yang terlalu memaksakan.  Dalam konsepnya mungkin sistem e-learning, belajar jarak jauh atau perkuliahan jarak jauh bisa menjadi solusi. Tapi pada konteks ini das sain dengan das solen  tidak seiring sejalan. Dalam prakteknya tidak mudah karena banyak variabel kejutan yang tidak terduga yang turut berpengaruh dalam proses belajar atau kuliah jarak jauh.

Perubahan ke arah belajar atau kuliah jarak jauh yang saat ini diterapkan sangat spontan, serba mendadak dan membuat beberapa civitas pendidikan tergagap lantaran belum siap, termasuk di perguruan tinggi. Tidak sedikit kendala yang terjadi saat kampus menerapkan perkuliahan online, e-learning, perkuliahan jarak jauh dan sejenisnya.

Walaupun sudah menerapkan sistem perkuliahan jarak jauh sebelumnya, namun bukan berarti ketika wabah virus Covid 19 ini menyerang, perguruan tinggi berlenggang begitu saja tanpa kendala sama sekali. Meskipun konsep belajar jarak jauh di beberapa perguruan tinggi sudah ada dan berjalan. Bahkan sudah ada aturannya yakni Undang-Undang Perguruan Tinggi nomer 12 tahun 2012, pasal 31 Pendidikan Jarak Jauh (PJJ).  Tapi kenyataanya tidak demikian.

Terlalu naif bila civitas pendidikan pada perguruan tinggi tidak mengakui adanya problem dalam perkuliahan jarak jauh, misalkan adanya dosen yang kurang siap ketika berhadapan dengan teknologi kuliah jarak jauh. Server yang kewalahan ketika jam perkuliahan berada pada beban puncak sehingga akses untuk sekadar absen login mahasiswanya saja tidak bisa. Sementara  di kampus tersebut mengharuskan semua perkuliahan wajib login kedalam sistem yang berda pada server tersebut.

Ini merupakan kendala dan mahasiswalah yang dirugikan.  Padahal kerugian yang dialami mahasiswa pada proses pendidikan atau perkuliahan adalah cacat akademik. Belum lagi mahasiswa yang tidak punya gadget untuk mendukung kuliah jarak jauh dan ada pula mahasiswa yang beralasan tidak punya kuota untuk sekadar ikut kuliah telekonferen bersama dosennya. Ditambah lagi kendala dosen pengampuh mata kuliah yang sifatnya vokasi-praktek,  seperti halnya kuliah teknik yang mengalami kesulitan dengan sistem kuliah jarak jauh ini, tapi dipaksakan harus jarak jauh ketika wabah Covid 19 menyerang.

Selain bencana pada umat manusia, fenomena wabah Covid 19 juga menyadarkan kepada seluruh scivitas pendidikan di Indonesia untuk berpikir serius merumuskan alternatif perkuliahan yang tidak selamanya bertatap muka. Belajar atau kuliah jarak jauh memang bisa menjadi solusi asal diterapkan dengan semangat “jarak jauh” bukan semangat “jarak dekat”. Sewajarnya sistem kuliah jarak jauh tidak mengenal satu cara saja dan tidak mengenal fanatisme metode.  Baik guru, terlebih dosen harus mengedepankan kreatifitas dalam menyampaikan materinya.

Pihak kampus pun sudah saatnya mulai melonggarkan paraturan kuliah jarak jauh yang tersentralisasi pada laman tertentu atau metode tertentu. Fanatisme buta seperti ini malah justru menghilangkan esensi dari kuliah jarak jauh tersebut yang intinya mempermudah orang untuk bisa mendapatkan materi kuliah tanpa harus dibatasi secara spasial dan waktu. Sulitnya akses mahasiswa dan dosen untuk masuk kedalam suatu sistem kuliah jarak jauh juga termasuk salah satu dampak dari fanatisme yang dimaksudkan di sini.

Sebagaimana yang tertera pada Undang-Undang Perguruan Tinggi nomer 12 tahun 2012, pasal 31 menjelaskan bahwa perkuliahan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. Dalam aturan tersebut makna kata penggunaan berbagai media komunikasi sepatutnya bisa dipahami sangat luwes tidak harus kaku berpatokan pada satu metode saja, satu gadget tertentu saja, menghambakan satu aplikasi tertentu atau satu web tertentu saja.

Justru perkuliahan jarak jauh harus melepas semua baju kekakuan yang selama ini terdapat pada perkuliahan jarak dekat dalam hal ini tatap muka. Namun dalam prosesnya baik dosen maupun mahasiswa harus tetap memperhatikan etika belajar-mengajar. Melalui sistem belajar atau kuliah jarak jauh ini seharusnya setiap orang dapat memperoleh akses terhadap pendidikan yang berkualitas seperti halnya pendidikan tatap muka yang reguler. Ujung dari hal ini semua kuliah bisa disambil aktifitas lain tanpa harus meninggalkan lokasi, tanpa harus tinggalkan karir.

Selanjutnya penugasan serta proyek yang diberikan kepada mahasiswa juga harus lebih kreatif sehingga mampu memancing daya kreatifitas mahasiswa tersebut. Sesekali boleh tugas dengan sistem konvensional seperti halnya mengerjakan paper ataupun menjawab quiz secara online. Tapi jangan juga alergi terhadap penugasan yang sifatnya proyek yang diunggah pada media sosial. Alih ilmu dan teknologi tidak dibatasi oleh satu cara dan metode saja.

Belajar atau kuliah jarak jauh secara luas boleh dipahami sebagai sebuah sistem dalam proses pendidikan yang memiliki ciri keterbukaan dalam metode dan memanfaatkan teknologi yang tersedia, serta kemandirian dalam menjalani pengalaman belajar. Dengan berakhirnya wabah ini, tidak ada salahnya mengolaborasi metode kuliah tatap muka dengan sistem online bagi materi kuliah yang sifatnya vokasi-praktek. Wabah virus Covid 19 mengajari semua pemangku kepentingan dibidang pendidikan untuk mulai melakukan hijrah konsep mendidik dari yang konvensional ke arah yang lebih kreatif lagi.

*) Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bahasa UBSI

9 Comments on “Pendidikan Jarak Jauh di Tengah Wabah Covid 19, Antara Realitas, Fanatisme, dan Hijrah ”

  1. The material of this blog site is merely extraordinary! Reviewing this post was crucial for me as it offered valuable understandings and detailed information on the subject. I was excited by the top quality of the writing and the degree of research included. The author did a remarkable task in presenting the info plainly and engagingly. Congratulations to the writer for producing such a interesting and well-written blog. I can not wait to find out more articles below!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *