DENPASAR, AKSIKATA.COM – Industri pariwisata dunia masih terpuruk akibat pandemi Covid-19. Tak terkecuali Bali, salah satu destinasi favorit pariwisata internasional. Bali masih belum bisa bangkit dari keterpurukan. Jumlah kunjungan wisatawan mencapai penurunan lebih dari 95% berakibat kamar-kamar hotel tak berpenghuni dan jutaan karyawan terpaksa dirumahkan.
Di tengah keterpurukan itu, sejumlah destinasi wisata di Bali tak sanggup membiayai berbagai aspek operasional, termasuk menunggak tagihan listrik karena tidak adanya cash flow akibat sepi pengunjung. Sementara itu, Perusahaan Listrik Negara (PLN) tetap menjalankan standar kebijakan operasional seperti biasanya, yaitu memutus aliran listrik bagi pelanggan yang menunggak.
Kebijakan yang tak peka situasi ini dinilai sangat tidak kooperatif oleh sejumlah pengusaha wisata Bali. “Presiden Jokowi telah memperlihatkan semangatnya untuk membantu pariwisata Indonesia dengan paket-paket stimulus ekonomi agar pariwisata bisa pelan-pelan bangkit kembali. Namun PLN sepertinya tidak peka terhadap situasi karena kami masih dikenakan sanksi reguler seperti tidak ada pandemi. Ini sangat memberatkan pengusaha pariwisata untuk bangkit dari keterpurukan,” ujar I Ketut Mardjana, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) BPC Bangli dalam siaran pers yang diterima Redaksi AKSI KATA.
Bersama Association of The Indonesian Tour & Travel (ASITA) Bali, I Putu Winastra dan Ketua PHRI Tabanan, I Gusti Bagus Damara, disampaikan bahwa PLN seharusnya peka terhadap situasi pandemi karena terkait dengan kesejahteraan rakyat juga.
Mereka menyampaikan bahwa pengusaha pariwisata menanggung hajat hidup karyawan yang kehilangan pekerjaan jika suatu usaha wisata tidak dapat bangkit kembali akibat listrik yangterputus. “Ini bukan semata soal pengusaha, tapi juga menyangkut hajat hidup orang banyak,” lanjut Mardjana.
Menurut dia, pemilik destinasi wisata terbesar di Kabupaten Bangli ini juga mencontohkan, dengan terputusnya aliran listrik di destinasi miliknya, itu akan mengganggu pariwisata Bangli secara umum, karena ada banyak konstituen bisnis yang bergantung padadestinasinya.
“Bukan hanya ratusan karyawan yang terpaksa kami rumahkan, tapi juga akan mematikan bisnis-bisnis kecil seperti tour guide, transportasi independen, homestay, tempat-tempat kos, usaha laundry, warung-warung dan supply chain kami,” ujar Mardjana yang juga founder dan General Manager Toya Devasya, destinasi pemandian air hangat terbesar di Bali yang bermukim di wilayah kaldera Kintamani.
Toya Devasya, salah satu destinasi yang terdampak pemutusan PLN. Dampak dari pemutusan listrik di Toya Devasya merupakan simulasi terancamnya pariwisata Bali jika PLN tidak cepat-cepat mengambil langkah yang strategis.
Sekjen ASITA Bali, Putu Winastra, pada kesempatan yang sama mengatakan bahwa mereka memahami jika ini bukan kebijakan PLN daerah. Karena itu ia berharap agar pemberitaan ini dapat didengar dan menjadi masukan bagi para pengambil keputusan di Jakarta, terutama Kementerian ESDM, BUMN dan Kemenparekraf.
“Ini bukan soal Bangli atau Bali saja, tapi juga soal Indonesia karena kebijakan ini berlaku nasional. Ini juga bukan soal industri pariwisata saja, tapi juga industri pada umumnya. Karena itu saya berharap agar pemerintah pusat dapat melakukan langkah-langkah yang cepat dan tepat agar dapat memberikan keringanan bagi para pengusaha di tengah ujian berat ini,” ujar I Ketut Mardjana. (Raihan Bintang)