DEPOK, AKSIKATA.COM – Di jajaran jurnalis Tanah Air, nama Gino Franki Hadi sudah dikenal sebagai fotografer sejumlah peristiwa, bahkan pengalaman lelaki yang sering disapa Opa Gino ini sudah banyak merekam sejumlah peristiwa.
Juga dia adalah seorang fotografer sekaligus wartawan foto yang telah mengabdikan dirinya puluhan tahun di dunia jurnalistik Indonesia.
“Waktu itu, saya banyak merekam peristiwa. Kini, saya merekam momen-momen kecil untuk diri sendiri. Dan itu sudah lebih dari cukup.” ujarnya.
Gino mengawali kariernya pada usia 27 tahun, ia menjadikan kamera bukan sekadar alat kerja, tetapi juga sahabat yang menemaninya dalam merekam berbagai peristiwa penting negeri ini hingga akhirnya pensiun.
Atas peristiwa yang belum lama terjadi di daerah Kwitang, Jakarta, Gino memaknai sebuah peristiwa dari sudut pandang seorang veteran jurnalistik.
Sebagai seorang yang sudah terbiasa berada di lapangan, naluri fotografernya tentu tergerak untuk datang menyaksikan langsung.
Ia pun mendatangi lokasi namun, berbeda dengan masa mudanya, kali ini ia memilih untuk tidak mengangkat kamera dan memotret.
Ada dua alasan besar di balik keputusannya. Pertama, ia menyadari bahwa dirinya tak lagi sekuat dan secepat dulu. Kedua, situasi saat itu terasa sangat personal baginya. Anak dan cucunya sedang bertugas satu di dalam instansi Brimob, satu lagi sebagai Marinir yang berjaga di luar lokasi.
“Saya hanya bisa mengamati dari jauh, tanpa ingin terlibat lebih dalam. Moment itu buat saya lebih seperti reuni pribadi dengan masa lalu, bukan lagi sebagai tugas jurnalistik,” kenangnya.
Baginya, peristiwa di Kwitang itu membawanya kembali pada ingatan tahun 1998, saat mahasiswa menduduki kantor DPR. Kehadirannya di Kwitang bukan untuk bekerja, melainkan untuk mengingat kembali suasana yang serupa.
Dalam pandangan Gino, kekuatan terbesar dari foto jurnalistik selalu terletak pada moment. Peristiwa besar memang memiliki nilai berita yang tinggi, tetapi bagi mata seorang fotografer yang sudah kenyang pengalaman, ia melihat pola yang berulang.
“Foto penjarahan atau pembakaran itu pada dasarnya sama. Hanya orang-orang di dalam frame-nya saja yang berganti,” ujarnya.
Namun, justru karena perspektif itu, ia bisa lebih jernih menilai karya orang lain. Ia mencontohkan sebuah foto yang viral, bukan hasil jepretan fotografer profesional, melainkan orang awam yang menggunakan kamera ponsel.
“Di situlah letak mahalnya sebuah foto, ketika moment itu benar-benar tak tergantikan oleh apapun,” jelasnya.
Gino tak menutup mata bahwa dunia fotografi telah banyak berubah. Jika dulu seorang jurnalis membutuhkan kamera besar, film, serta akses untuk meliput, kini masyarakat biasa bisa merekam sejarah hanya dengan ponsel di tangan.
Ia bahkan menuturkan kisah anaknya yang tinggal di Amerika. Sang anak memasang ponsel di badan lalu merekam perjalanan bersepeda motor bersama cucunya.
Rekaman itu sederhana, namun menurut Gino, justru memiliki daya cerita yang kuat.
“Foto bagus itu bukan perkara alat. Yang sulit adalah keberadaan kita pada waktu dan tempat yang tepat, saat moment itu benar-benar terjadi,” katanya.
Baginya, inilah inti dari fotografi, keberanian untuk hadir pada peristiwa penting, lalu membekukannya menjadi cerita visual.
Setelah puluhan tahun berlari mengejar berita, kini Gino memilih untuk memperlambat langkah.
Kamera sudah jarang ia sentuh, bukan karena kehilangan cinta, melainkan karena ia merasa sudah menunaikan bagiannya.
Kehidupan sederhana menjadi kebahagiaan baru. Duduk di halaman rumah, menikmati secangkir kopi hangat, ditemani kue tradisional itulah bentuk kebahagiaan yang menurutnya tak kalah indah dibanding hiruk pikuk di lapangan.
“Dulu saya merekam peristiwa untuk orang banyak. Sekarang, saya cukup merekam momen kecil untuk diri sendiri. Itu sudah lebih dari cukup,” ujarnya sambil tersenyum.
Perjalanan Gino Franki Hadi mengingatkan kita bahwa setiap fase kehidupan memiliki momennya sendiri.
Dari masa muda yang penuh adrenalin di tengah kerusuhan, hingga masa tua yang tenang bersama keluarga, semuanya memiliki nilai yang patut dihargai.
Pada akhirnya, kamera hanyalah medium, sementara kehidupan itu sendiri adalah peristiwa terbesar yang layak dirayakan setiap hari. Nama Gino Franki Hadi pun mencatat seebagai Certified Wartawan Utama – Dewan Pers, Photojournalist Media Indonesia, IPPA, Redaktur Majalah Photography MATA, TVRI Penguji Kompetensi Pewarta Foto Indonesia. (Foto Dok Pribadi)
Gino Franki Hadi Antara Karya Foto dan Adrenalin Kerusuhan
