JAKARTA, AKSIKATA.COM – Bila bertandang ke arah Jakarta Pusat sempatkan datangi Masjid Jami Al Makmur, yang arsitekturnya mengandung empat unsur kebudayaan yakni Jawa, Betawi, Eropa, dan Tionghoa. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua berada di Jalan Raden Saleh No 30, Cikini, Jakarta Pusat.
Dalam sejarahnya, seperti dikutif dari situs Islamic Center, masjid ini dibangun oleh Raden Saleh Syarif Bustaman atau yang dikenal dengan nama Raden Saleh, maestro pelukis Indonesia, pada tahun 1890.
Mulanya, masjid ini merupakan pindahan surau sederhana di kediaman Raden Saleh yang luasnya dari Cikini hingga Tugu Tani, Menteng. Dindingnya terbuat dari gedek (bilik bambu), berukuran kecil seperti rumah panggung, dan letaknya bukan di lokasi sekarang, tetapi di belakang rumah kediamannya, yang kini menjadi Rumah Sakit Cikini, Jalan Raden Saleh.
Sepeninggal Raden Saleh, masjid ini beberapa kali berpindah kepemilikan. Lahan dan bangunan masjid dibeli Sayed Abdullah bin Alatas yang selanjutnya dijual kepada yayasan milik pemerintah kolonial Belanda, Koningen Emma Ziekenhuis (Yayasan Ratu Emma), sebuah yayasan misionaris kristen milik orang Belanda, bergerak di bidang pelayanan sosial, seperti mendirikan rumah sakit, selain menyebarkan agama kristen.
Setelah tanah tersebut dimilik Koningin Emma Stichting, meski sebenarnya tanah masjid tersebut bukan termasuk bagian miliknya, mereka menuntut agar masjid tidak berada di lokasi yang dikuasainya itu. Karena desakan pihak yayasan, akhirnya Masjid Cikini dipindahkan beberapa meter dari tempat asalnya dengan cara memanggulnya secara bergotong-royong.
Tahun 1932, Emma Stichting tetap menuntut agar masjid dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh lagi. Akibat tuntutan itu, timbul reaksi dari para tokoh Islam seperti H.O.S. Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam) dibantu Haji Agus Salim dan Abikusno Cokrosuyoso. Mereka tidak setuju jika masjid itu dipindahkan.
Demikian kokohnya persatuan tokoh umat Islam waktu itu, sehingga sanggup menggerakan solidaritas umat Islam di seluruh Jawa. Demi membela dan mempertahankan masjid dari upaya penggusuran, secara spontan para jamaah shalat Jumat selalu membawa golok untuk berjaga-jaga agar pihak Belanda tidak berani mengusiknya.
Agus Salim lalu memprakasai pembangunan masjid yang permanen setara dengan gereja yang ada. Ketika itu, pada dinding atap bagian depan masjid sengaja dipasang lambang partai Sarekat Islam (SI) yang berbentuk bulan sabit dan bintang agar Belanda tidak berani mengganggu, sebab SI waktu itu merupakan partai Islam terbesar di Indonesia yang besar pula pengaruhnya. Lambang itu sampai sekarang menjadi ciri khas Masjid tersebut.
Rebutan tanah wakaf itu terus berlanjut, hingga pada tahun 1991, Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto ketika itu berhasil menyelesaikan kepemilikan tanah masjid. Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto menetapkan Masjid al-Makmur Cikini sebagai cagar budaya yang dilindungi. Hal ini menyelematkan masjid tersebut dari upaya penggusuran pelebaran sungai di Cikini. Bersama itu pula (1993) upaya renovasi dilakukan oleh Dinas Purbakala Kanwil Depdikbud DKI.
Sepanjang perjalanannya bangunan masjid ini sempat mengalami perbaikan dan penambahan. Namun, masih ada beberapa bagian masjid yang masih asli seperti pintu, tiang-tiang, dan lantai porselen sejak pertama kali masjid ini didirikan. Dari hiasan, ornamen masjid yang terbuat dari kuningan ini juga masih asli hingga mimbar imam yang ada di depan masih asli.