JAKARTA, AKSIKATA.COM – Perang etnis antar suku di Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah pada 18 Februari 2001 silam, masih menyisakan sebuah cerita. Ketika itu, ratusan mayat ditemukan tanpa kepala. Tubuh-tubuh tanpa kepala bergeletakan di sudut-sudut kota. Suasana terasa mencekam.
Ketika itu terjadi perang antara suku Dayak, suku asli Pulau Kalimantan dengan suku Madura, sebagai pendatang di pulau tersebut. Keributan itu ditenggarai lanjutan dari peristiwa sebelumnya yang diawali di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat, lalu merembet ke sejumlah tempat di Kalimantan Barat, dan puncaknya terjadi di Sampit.
Peristiwa di Sampit diduga merupakan serangan aksi balas dendam. Sekelompok warga Dayak menyerang rumah seorang warga Madura bernama Matayo di Jalan Padat Karya. Ketika itu, 4 orang meninggal dunia, dan 1 orang luka parah.
Peristiwa itu berbuntut panjang. Saling menyerang. Suku Madura di sana melancarkan aksi balasan dan berani melakukan sweeping terhadap permukiman-permukiman warga Dayak. Hingga kemudian, Mangkok Merah telah beredar, gelombang besar warga Dayak dari luar kota berdatangan ke Sampit pada 20 Februari 2001. Mereka datang dari daerah alur sungai pedalaman Kalimatan Tengah, daerah Barito, Pangkalan Bun, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Konon, sebelum menyerang panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Sebagian pasukan Suku Dayak ini berada kondisi di bawah sadar saat melakukan serangan. Tak hanya itu, pasukan Dayak ini memiliki indera penciuman yang tajam, sehingga bisa membedakan orang Madura dan non-Madura. Hanya dalam jarak 100 mereka, mereka bisa mengetahui mana yang Suku Madura, dan yang bukan. Suku yang non Madura relatif aman di sana.
Ratusan warga Dayak itu melakukan penyerangan dengan hebat. Ribuan warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini. Warga Dayak pun menyebar hingga Palangkaraya, bahkan menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah, kecuali Pangkalan Bun yang tetap aman karena hampir tak ada warga Madura yang tingga di sana.
Dari peristiwa itu, terlihat dengan jelas betapa Suku Dayak tak kenal takut, mereka adalah petarung yang tangguh dengan dibekali ilmu leluhur. Sebelum terjun ke medan perang ini, mereka melakukan sejenis upacara pemanggilan arwah leluhur. Mereka minta perlindungan dan keselamatan dalam peperangan. Saat berperang jiwa-jiwa para pemuda ini sepenuhnya dikuasai oleh roh.
Sehingga, mereka melakukan serangan balasan tanpa pandang bulu. Tua, muda, kecil, besar dibabat dan ditebas. Konon, setelah menemukan sasaran yang diincar, orang Dayak tak melihat musuh sebagai manusia utuh. Tapi, seolah-olah, mereka tengah berhadapan dengan manusia berkepala sapi. Meka berburu kepala musuh-musuhnya yang berupa kepala sapi itu.
Pemenggalan kepada musuh adalah bagian dari ritual suku Dayak yang disebut dengan Ngayau atau Mangayau. Dalam bahasa Dayak sendiri kayau memang berarti musuh. Dengan kata lain, ngayau berarti berburu kepala musuh. Hal itu sudah menjadi ritual yang harus dijalankan pemuda Dayak sebelum memasuki akil-balik. Bahkan, bila perlu, mereka juga memakan hati musuh.
Dalam kepercayaan Suku Dayak ini, hanya dengan cara itulah maka roh korban atau musuh mereka tak akan mengganggu seumur hidup. Mereka percaya cara ini akan menghindarkan dari gangguan roh jahat yang ada di dalam diri musuh. Perburuan kepala hanya dilakukan saat orang Dayak merasa terancam, misalnya dalam perang.
Untuk melakukan pengayau tidak bisa sembarang dilakukan, tetapi mempunyai aturan. Banyak pantang yang harus dilakukan seperti tidak boleh menjarah dan memperkosa dan lain-lain.
Secara historis ngayau mempunyai arti turun berperang untuk mempertahankan status kekuasaan, misalnya mempertahankan atau memperluas daerah kekuasaan yang dibuktikan dengan banyaknya jumlah kepala musuh. Semakin banyak kepala musuh yang diperoleh, maka semakin perkasa pasukan mereka.
Tradisi ngayau awalnya hanya sebuah cara bagi seorang lelaki untuk menunjukkan keberaniannya. Sebelum menikah seorang lelaki perlulah keluar dari daerah tempat tinggalnya dan pergi berburu kepala manusia. Mereka dibekali beberapa senjata seperti tombak hingga mandau.
Seorang lelaki yang berhasil mendapat banyak kepala akan diterima sebagai menantu bagi keluarga yang dipinangnya. Kepala-kepala tersebut akan dijadikan barang hantaran dan akan digantung dirumah-rumah panjang sebagai semangat memelihara rumah.
Meski demikian, tradisi ngayau itu sudah lama ditinggalkan, karena dianggap menimbulkan perselisihan diantara suku Dayak sendiri. Sehingg di tahun 1874, Damang Batu, Kepala Suku Dayak Kahayan mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan musyawarah bernama Tumbang Anoi. Lalu dibuatlah kesepakatan bersama untuk mengakhiri tradisi ngayau.
Namun, setelah sekian tahun, tradisi ngayau kembali muncul pada perang etnis di Sampit. Perang yang dahsyat itu, berakhir dengan perjanjian damai antara suku Dayak dan Madura. Sebagai perlambang perdamaian, dibuatlah dibuatlah yang biasa disebut sebagai Tugu Perdamaian Dayak dan Madura berada di Jl. Jend Sudirman Sampit-Pangkalan Bun KM 3,5.