Biaya Kuliah Selangit, Mimpi Generasi Z Kandas? Refleksi tentang Akses Pendidikan Tinggi di Indonesia

Oleh : Ir Eri Bayu Pratama*

PONTIANAK, AKSIKATA.COM – Di persimpangan cita-cita dan realita ekonomi, pendidikan tinggi di Indonesia kini berada dalam pusaran tantangan yang kompleks. Semangat pemerintah untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi berbenturan dengan kenyataan pahit: biaya kuliah yang terus meroket. Lebih dari sekadar urusan Uang Kuliah Tunggal (UKT), isu ini mengusik rasa keadilan sosial dan mengancam keberlanjutan sistem pendidikan nasional.

Kita sering mendengar justifikasi klise, kenaikan biaya pendidikan tak lain demi peningkatan mutu layanan, fasilitas kampus yang modern, serta kebutuhan riset dan inovasi yang berkelanjutan. Namun, bagi jutaan keluarga kelas menengah ke bawah, narasi ini terasa ironis.

Biaya kuliah yang tinggi menjelma tembok penghalang, meruntuhkan impian untuk mencicipi bangku universitas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 dengan gamblang menunjukkan bahwa hanya sekitar 37% lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi, dan faktor ekonomi masih menjadi alasan utama di balik keputusan pahit ini.

Pemerintah memang tak tinggal diam. Berbagai skema bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, beasiswa LPDP, serta bantuan UKT bagi mahasiswa terdampak ekonomi telah digulirkan. Namun, implementasi di lapangan kerap kali tersandung masalah klasik: keterbatasan kuota, ketidaktepatan sasaran, hingga minimnya sosialisasi di daerah-daerah terpencil. Akibatnya, tak sedikit calon mahasiswa berprestasi dari keluarga kurang mampu yang terpaksa menunda, atau bahkan mengubur impian untuk kuliah.

Di sisi lain, perguruan tinggi swasta (PTS) yang menampung lebih dari 60% mahasiswa nasional juga menghadapi dilema finansial tersendiri. Ketergantungan pada pendapatan dari mahasiswa membuat PTS sangat rentan terhadap fluktuasi jumlah pendaftar. Tanpa dukungan dana pemerintah yang memadai, sulit bagi PTS untuk menjaga mutu akademik sekaligus menekan biaya kuliah agar tetap terjangkau.

Namun, di tengah keraguan ini, secercah harapan muncul dari inisiatif konkret yang dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi swasta. Salah satunya adalah Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) kampus Pontianak, yang terus berkomitmen memperluas akses pendidikan tinggi melalui berbagai program beasiswa unggulan. UBSI sebagai Kampus Digital Kreatif, menyadari betul pentingnya menyiapkan generasi muda yang kompeten di era digital, dan hal ini tercermin dalam program-program beasiswa yang ditawarkan.

Menyambut Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) tahun 2026, UBSI menghadirkan beragam jalur beasiswa seperti Beasiswa Jalur Undangan, Beasiswa Jalur Prestasi, dan Beasiswa Talenta Digital. Ketiga program ini dirancang untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi calon mahasiswa dari berbagai latar belakang. Beasiswa Jalur Undangan diberikan kepada siswa berprestasi yang direkomendasikan oleh sekolah, sedangkan Beasiswa Jalur Prestasi ditujukan bagi mereka yang memiliki capaian akademik maupun non-akademik yang menonjol.

Sementara itu, Beasiswa Talenta Digital menjadi bukti nyata komitmen UBSI dalam menyiapkan generasi muda yang siap menghadapi tantangan industri teknologi dan ekonomi kreatif. Program-program seperti ini menunjukkan bahwa pemerataan akses pendidikan tinggi tidak harus selalu bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga dapat diinisiasi oleh kampus yang memiliki kepedulian sosial dan visi jangka panjang terhadap pembangunan SDM nasional.

Ke depan, reformasi pembiayaan pendidikan tinggi perlu diarahkan pada model kolaboratif yang melibatkan pemerintah, industri, dan perguruan tinggi. Skema seperti cost sharing dan income sharing agreement dapat menjadi inovasi untuk menjaga keberlanjutan sistem.

Pendidikan tinggi adalah hak, bukan privilese. Dengan sinergi antara kebijakan publik dan inisiatif kampus seperti UBSI kampus Pontianak, mimpi untuk menciptakan generasi muda yang cerdas, berdaya saing, dan inklusif bukanlah utopia melainkan arah nyata menuju Indonesia Emas 2045. Mari kita rajut asa, bukan meruntuhkannya.

*Dosen sekaligus Kepala Kampus UBSI kampus Pontianak