JAKARTA, AKSI KATA. COM – Tantangan menjaga etika jurnalistik di tengah maraknya berita hoaks dan derasnya arus digitalisasi menjadi sorotan utama dalam webinar bertajuk “Trust & Truth: Ethical Journalism in the Age of Digital Hoax”.
Dalam acara yang digelar oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat bersama Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana (FIKOM UMB), Dr. Budi Nugraha, M. I. Kom., Ketua Satgas Anti Hoax PWI Pusat, menegaskan, etika jurnalistik adalah kunci untuk melindungi akurasi informasi dan menjaga kepercayaan publik.
Budi juga membahas tantangan yang dihadapi media tradisional akibat perkembangan media sosial, yang di satu sisi membuka peluang bagi siapa saja menjadi kreator konten, namun di sisi lain memunculkan risiko terhadap kredibilitas informasi.
“Media harus tetap menjalankan verifikasi fakta dan mematuhi kode etik jurnalistik,” ujar dosen tetap UHAMKA ini di Jakarta, Jumat,(22/11).
Dalam acara yang merupakan implementasi praktik dari Mata Kuliah Event Management (Dosen Pengampu Riki Arswendi, M. I. Kom) ini, Pemred suaramerdeka.com, ini menegaskan, jurnalis harus tetap mematuhi kode etik jurnalistik dengan melakukan verifikasi fakta secara ketat sebelum mempublikasikan informasi. “Untuk mempertahankan kepercayaan publik, media harus tetap mematuhi aturan yang ada, meskipun berada di lingkungan digital,” ujarnya.
Budi yang juga berprofesi sebagai Dosen Komunikasi juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi media tradisional akibat dominasi media sosial. “Media sosial telah menyebabkan banyak media cetak gulung tikar. Namun, di sisi lain, platform ini membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi jurnalis, penulis, atau bahkan content creator,” jelasnya.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa siapa pun yang ingin berkiprah di dunia jurnalistik tetap harus bersikap profesional dan mematuhi regulasi yang ditetapkan oleh PWI.
Etika dalam Pemberitaan Sensitif
Menjawab pertanyaan peserta webinar terkait akurasi informasi, Dr. Budi menekankan pentingnya konfirmasi dalam pemberitaan, terutama untuk berita-berita sensitif. “Misalnya, berita tentang perceraian, perselisihan, atau protes masyarakat terhadap kebijakan seperti penggunaan aplikasi MyPertamina untuk pembelian BBM harus melalui proses verifikasi yang ketat,” ujarnya. Ia juga menekankan kewajiban media besar untuk mengonfirmasi informasi terkait artis melalui manajer yang bersangkutan guna menjaga kredibilitas dan menghindari kesalahan data.
Dr. Budi membahas perubahan signifikan dalam praktik jurnalistik, terutama dalam menanggapi isu-isu sensitif. Ia mengingatkan bahwa pada era 1990-an hingga awal 2000-an, media sering mengandalkan rilis resmi. Namun kini, konfirmasi langsung menjadi kewajiban, terutama dalam pemberitaan yang melibatkan tokoh publik atau kebijakan kontroversial.
Ia mencontohkan kasus seorang menteri yang memprotes media karena kesalahan data dalam pemberitaan. “Kasus seperti ini biasanya diselesaikan di Dewan Pers. Oleh karena itu, penting bagi media untuk memastikan semua informasi telah dikonfirmasi sebelum dipublikasikan,” tambahnya.
Webinar COMNECTION 2024 ini menjadi ajang inspiratif bagi mahasiswa dan generasi muda yang tertarik terjun ke dunia jurnalistik. Peserta diajak memahami bahwa di era digital yang penuh tantangan, praktik jurnalistik yang beretika adalah kunci utama untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik.
Acara ini menjadi pengingat bahwa di tengah derasnya arus informasi, jurnalis harus tetap teguh pada prinsip profesionalisme dan etika. “Etika adalah benteng terakhir jurnalis dalam melindungi akurasi informasi dan menjaga integritas media,” pungkas Dr. Budi.