JAKARTA, AKSIKATA.COM – Baas Cihno Suko, tidak menduga jika jalan hidupnya berjalan ke dunia tari, sebab lelaki humoris ini memang menjalani dunia pendidikan tentang apoteker.
Ayah tiga anak kelahiran 11 November 1954 dari pasangan Suroso Harsono dan Sunarni merupakan anak kedua dari 12 bersaudara. “Bisa dibayangkan bagimana saya mesti membantu orang tua untuk adik-adik saya,” ujarnnya di salah satu cafe di Depok.
Apalagi menurut pria penggemar soto betawi ini, ayahnya dalah seorang purnawiran TNI AD dengan pangkat Kapten yang terakhir bertugas di DITKUAD Jakarta.
Ayah beliau juga seorang pejuang, dalam suatu operasi militer beliau tertembak di dada sebelah kiri, namun nyawanya dapat diselamatkan, kembali sehat dan berumur panjang hingga wafat pada usia 67 tahun pada tahun 1996.
Baas kecil, sempat merasakan betapa susahnya menjadi anak kolong yang selalu berpindah tempat. Kala itu sang ayah bertugas di Batalyon 431 Banteng Raiders di Semarang Jawa Tengah, mereka selalu mendampingi kemana sang ayah bertugas mulai dari Yon 130 Padang Panjang, Yon 132 Bukittinggi, Yon 131 Payahkumbuh dan di Pekan Baru.
Selepas menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Asisten Apoteker Angkatan Darat pada tahun 1975, pada Tahun 1977 keluarga pindah ke Perumnas Depok I.
Di tempat inilah, Baas bertemu dengan Budi Agustinah (etin) yang kemudian menjadi pilihan hidupnya, waktu itu Etin masih kelas 3 di SMP Negeri 2 Depok (kala itu masih SMP Persiapan) dan merupakan penari berbakat yang sering mewakili Depok dalam berbagai event baik di Depok maupun di luar Depok dan terpilih menjadi Pelajar Teladan Tingkat Kabupaten Bogor 1977.
Perkenalannya dengan seorang penari ternyata dapat merubah perilaku anak tentara ini yang awalnya keras dan “ Bandel “ menjadi lebih “ halus “ dan tidak emosional seperti awalnya. Akhirnya tanpa disadari Baas jatuh cinta pada Seni Tari Tradisional Indonesia, pada tahun 1979 untuk mendukung kiprah sang istri, mereka sepakat mendirikan Sanggar Tari Ayodya Pala, nama ini diilhami dari kata Ayudhya sebuah kerajaan Sri Rama dari Epos Ramayana, sedangkan Pala diambil dari sumpah sang Maha Patih Gajah Mada, yaitu Sumpah Palapa.
Pada tahun 1981 pasangan ini menikah dan pada tahun itu juga Etin diterima di Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Indonesia, dan dengan dukungan Sang Ayah (Suroso Harsono) dan Mertua (H.Radikin) dibuatlah Yayasan Ayodya Pala yang bergerak dalam bidang Pelestarian, Pendidikan dan Pengembangan Seni Tari Tradisional dan dengan pernikahannya mempunyai 3 orang anak, yang pertama Denta Mandra Pradipta Budi A, S.Ds, M.Si, Dosen di Universitas Mercu Buana, yang kedua Dwipa Amboro Bima C, S,IKom seorang Akupunkturis dan yang bungsu Yayi Suriphity Ss, masih kuliah semester 6 di UMB.
Rekruitmen mula-mula hanya dari mulut kemulut, siswa yang belajar menari hanya dipungut tiap anak Rp.250,-/bulan. Dengan biaya latihan sebesar itu untuk membeli beras sekeluarga pun tak cukup. Terlebih lagi saat istri hamil besar dan masih menempuh kuliah di Universitas Indonesia. Baas sambil bekerja terus mendukung kiprah sang istri dalam bidang Manajemen, diantaranya promosi, maupun perekrutan siswa dan berbekal semangat juang yang diwariskan orang tuanya sebagai seorang TNI, Baas Pantang menyerah.
Karena merasa belum ada pengalaman, Baas banyak belajar cara mengelola dari sanggar-sanggar yang besar dan sudah sukses kala itu, “Saya tidak malu untuk bertanya dan tetap menjaga silaturahmi dengan mereka,” tuturnya.
Baas mengelola Ayodya Pala dengan manajemen yang baik dan teliti dan setelah 15 Tahun baru mulai terlihat hasilnya. Alhamdulillah hingga 41 Tahun Ayodya Pala berdiri keberadaannya sudah diterima Masyarakat umum hal ini dapat dibuktikan sudah berdiri 40 Cabang di wilayah Jabotabek dengan jumlah anggota 2.500 orang.
“Banyak orang hanya melihat Ayodya Pala pada saat ini, mereka tidak tau bagaimana prosesnya hingga sampai seperti sekarang, sebagai gambarannya : Saya dan istri pernah 7 kali tinggal dirumah kontrakan, pernah mengalami sehari makan sehari tidak, pernah habis pagelaran di TIM menjual isi rumah sampai ludes untuk menutupi kekurangan biaya pagelaran, dan banyak lagi pengalaman menyedihkan yang dapat mengeluarkan air mata bagi yg mendengarnya, bahkan sering kami naik becak, untuk membawa barang keperluan tari,” kata Baas penggemar kopi tubruk ini.
Pesan Baas kepada generasi muda saat ini adalah : Suatu pencapaian, kesuksesan dan keberhasilan tidak semudah seperti membalikan tangan, semua melalui perjuangan, pengorbanan dan proses yang cukup berat dan harus terus belajar untuk menutupi kekurangan kita.
“Ayah saya bilang, bila ingin belajar mengaum belajarlah dengan harimau, bila ingin belajar mengembek belajarlah dengan kambing,” kata lelaki penyuka sop kambing ini.