JAKARTA, AKSIKATA.COM- Sejumlah tokoh masyarakat yang tergabung dalam Dampek Diaspora Jabodetabek mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Selasa (1/10/2019). Di KLHK, mereka diterima Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Rasio Ridho Sani, Direktur Pengaduan Pengawasan dan Pengenaan Sanksi Administrasi (PPSA) Direktorat Penegakan Hukum KLHK, Sugeng Priyatno dan Kepala Seksi Pengukuhan Kawasan Hutan Jawa Bali Nusa Tenggara dan Maluku KLHK, Doni Setiawan Septiono. Dokumen penolakan pun langsung diserahkan.
Tokoh masyarakat yang hadir kompak mengenakan busana daerah Manggarai, Flores, NTT yakni kain “songke”. Dalam kesempatan pertama, Marianus Kisman yang merupakan tokoh utusan masyarakat Dampek memaparkan persoalan yang terjadi. Marianus begitu sapaannya menceritakan soal kehadiran program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) di lingko gendang Sambi yang dinilai merugikan hak ulayat warga setempat.
“Kehadiran TORA di sana tidak melalui sosialisasi. Tanah yang telah dipasang pilar itu tanah ulayat kami. Selama ini masyarakat di sana aktivitas seperti biasa, tetapi setelah dipasang pilar Kawasan Hutan Puntu II, jadi masalah,” tegas Marianus.
Marianus pun meminta Dirjen terkait supaya segera selesaikan kasus tersebut supaya tidak menimbulkan keresahan ditengah masyarakat. Sebab kata Marianus, tanah ulayat untuk masyarakat Manggarai merupakan harga diri yang harus dipertahankan. “Kami sebagai masyarakat meminta kepada pemerintah (KLHK) untuk selesaikan masalah ini,” harapnya.
Sementara Gabriel Mahal yang merupakan tokoh asal Manggarai menjelaskan secara rinci keluhan yang dialami masyarakat adat Gendang Sambi, Dampek, Desa Satar Padut, Kecamatan Lamba Leda tersebut.
“Jadi dasarnya itu, alas haknya itu hak ulayat. Dasar mereka itu hak ulayat. Dalam prosesnya itu semua tertutup. Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka tidak tahu bahwa tiba-tiba hak ulayat itu sudah menjadi kawasan hutan dan dari situ mereka tidak tahu lagi dari kawasan hutan menjadi TORA lagi. Mereka bingung. Jadi kemudian jadi keresahan,” tegas Gabriel.
Menurut Gabriel, permintaan masyarakat Gendang Sambi saat ini kembalikan hak ulayat yang telah dialihkan menjadi kawasan hutan. “Keinginan mereka hanya satu saja, apa yang menjadi kawasan itu hak ulayat ya kembalikan menjadi hak ulayat. Mereka engga butuh TORA. Karena itu memang
hak ulayat dan merasa tak masalah,” tegasnya.
Gabriel pun mengkritisi kehadiran proyek TORA tersebut. Gabriel menegaskan, masyarakat setempat tidak membutuhkan proyek yang hanya menghabiskan uang rakyat tersebut.
“Ini sebenarnya menghabiskan duit saja ini pemerintah. TORA sebenarnya membantu rakyat. Sebenarnya engga perlu karena itu sudah menjadi hak rakyat. Ngapain mutar-mutar ni barang. Kejahatannya sebenarnya di situ kalau kita mau lihat,” katanya.
Sikap KLHK
Menyikapi keluhan masyarakat Dampek tersebut, Direktur Pengaduan Pengawasan dan Pengenaan Sanksi Administrasi (PPSA) Direktorat Penegakan Hukum KLHK, Sugeng Priyatno mengatakan, pihaknya akan membahas hal tersebut secara internal.
“Pertemuan hari ini, kita menyikapi seluruh pernyataan sikap yang ada di sini. Dan ini kita sampaikan, segera kita akan rapat menindaklanjuti persoalan ini untuk tidak terjadi konflik-konflik yang akan terjadi di daerah. Kita akan segera menyelesaikan persoalan ini,” tegas Sugeng.
Sugeng pun memastikan kasus “pencaplokan” tanah ulayat tersebut akan segera diselesaikan. “Insya Allah kita akan segera menangani kasus ini. Dalam waktu dekat. Kami ini menfasilitasi, tetapi ke dalaman persoalan kita akan menanyakan ke Direktorat masing-masing. Jadi kita akan mendalami lagi, dalam waktu dekat ini. Minggu-minggu ini kita akan rapat dengan Direktorat PKLT dan kita undang Dinas Kehutanan yang ada di daerah supaya ada kesamaan pendapat terhadap persoalan ini,” tambahnya.