JAKARTA,AKSI KATA.COM – Tenaga Ahli Khusus Hilirisasi Sumber Daya Alam Menteri Perindustrian, Raden Sukhyar mengungkap salah satu persoalan di bidang pertambangan adanya Abuse of Power dalam pembuatan undang-undang dan rent seekers yang merugikan para penambang maupun negara dalam industri Sumber Daya Alam (SDA). Hal itu disampaikan Sukhyar di Jakarta, Selasa (15/11).
Berbicara pada diskusi publik bertajuk ” Peran Penting Pertambangan dalam Transisi Energi dan Hilirisasi”, mantan Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM ini mengatakan, persoalan pertambangan selama ini muncul berkenaan dengan permasalahan kontitusi dan perundang-undangan. “Tetapi kalau industri SDA kita tidak membeli bahan baku. Bahan bakunya dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Itu sudah pasti maka paling sering terjadi pada saat pembuatan ketentuan, Undang-undang, pelaksanaannya, lalu ada unsur-unsur keikutsertaan, keinginan, partisipasi, saya tidak menyebut Abuse of Power tetapi secara umum di dunia ini pasti terjadi abuse of power didalam pembentukan UU, kemudian adanya rent seekers,” kata Sukhyar.
Menurut Sukhyar, hal ini pastinya berkaitan dengan usaha para pengusaha tambang mulai dari melakukan pertambangan hingga pengiriman barang tambang selalu ada pengeluaran biaya. “Dan ini pasti berkaitan dengan usaha bapak-bapak di pertambangan mulai dari menambang sampai mengirim pasti ada rent seekers ditengah-tengah dan banyak sekali yang harus kita bayar yang pernah kita alami,” ujarnya.
Berkaitan dengan itu, Sukhyar menuturkan mengenai evolusi kegiatan pertambangan di Indonesia. Menurutnya ada perbedaan yang mendasar antara ketentuan perundang-undangan berkaitan dengan SDA dengan industri manufaktur. Kalau industri manufaktur itu sudah downstream tetapi kalau UU SDA itu pasti banyak kewajiban didalam ketentuan. “Karena kalau kita lihat by kontitusi, kontitusi kita mengatasi bahwa SDA itu milik rakyat, kolektif, tidak ada individu yang bisa mengklaim bahwa itu adalah miliknya,” tuturnya.
Sukhyar juga menerangkan bahwa berbeda industri SDA dengan industri manufaktur. Kalau industri manufaktur membeli bahan baku, semisal pengusaha membangun smelter dan pasti smelter membeli nikel ore. Tetapi kalau industri SDA tidak membeli bahan baku.
Sedangkan untuk industri manufaktur yang mengalami kerugian adalah pelaku usaha. Ketika membeli bahan baku namun bahan bakunya tidak laku, lalu membeli mesin tapi mesinnya tidak laku. “Tetapi kalau industri sda seperti nikel bukan hanya pelaku usaha yang rugi tetapi juga negara yang rugi,” terangnya.
Sukhyar menjelaskan, ada dua komoditi di Indonesia yang tidak ada bandingannya didunia. Dua komoditi itu adalah nikel dan timah. Namun mengapa World Trade Center (WTO) lebih menyorot nikel. Padahal semua dilarang tetapi kenapa WTO lebih fokus ke nikel. Menurutnya pasti ada sesuatu dan benar saja ketika pemerintah mewajibkan untuk melakukan pengelolaan nikel menjadi produk turunan maka para pengusaha asing berdatangan ke Indonesia untuk mendapatkan nikel. “Sayangnya sampai hari ini kebanyakan kita masih di hulunya, yang kita lakukan masih di hulunya. Jadi dari ore menjadi metal belum sampai ke bawahnya. Harapan kita tentu kalau kita punya nikel bagus harapannya ke hilirnya sejauh mungkin. Ya ini yang kita harap-harapkan ke depan,” jelasnya.
Namun Sukhyar mengingatkan agar jangan bergembira dahulu atas kebangkitan hilirisasi industri nikel karena Indonesia masih menjadi pengikut negara-negara maju. “Jangan gembira dulu, kita ini sifatnya masih follower kalau nikel ini buming karena ada kepentingan-kepentingan negara maju kemudian mempengaruhi kita untuk mengembangkan nikel kita,” cetusnya.
Seperti diketahui bahwa nikel merupakan bahan baku pembuatan baterai listrik yang mampu menyimpan energi listrik lebih besar dibanding logam lain. Namun kalau pertumbuhan negara maju tidak bagus atau tidak ada pertumbuhan maka Indonesia akan kesulitan mengirim produk tambang ke luar negeri. “Jadi ini faktor-faktor yang tidak mungkin tidak mempengaruhi kelanjutan (sustainability) di pertambangan di Indonesia termasuk nikel di Indonesia,” ujarnya.
Dilihat dari teknologi, perusahaan Indonesia hanya baru mampu mengolah nikel sampai ke ore, logam, FeNi hingga MHP dan stainless steel. Jadi hampir semua teknologi yang digunakan itu masih menggunakan teknologi dari negara luar.