JAKARTA, AKSIKATA.COM – Mantan Pangkostrad 1999-2000 Letjen (Purn) TNI Djadja Suparman menyurati Presiden RI Joko Widodo memohon keadilan. Akibat risiko jabatan sebagai Pangdam Brawijaya dan Pangdam Jaya 1997 – 1999 dirinya harus menerima perlakuan tidak adil dan menghancurkan hidupnya.
Pada tanggal 13 Mei 2022 lalu dirinya menerima surat panggilan dari Kepala Oditur Militer Tinggi Surabaya (Ka Odmilti) untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 30 Mei 2022.
“Kenapa baru sekarang? Kemana saja selama 6 tahun ini?”, ujar Mantan Pangdam Brawijaya 1997-1998 ini
dalam surat yang tertuju kepada Kepala Oditur Militer Tinggi yang disampaikan juga dalam surat kepada Presiden Jokowi.
Sejak Putusan MA, Djadja Suparman sudah meminta kepada Kepala Oditur Militer Tinggi tahun 2016 agar dieksekusi, tapi ditolak karena katanya perkara ini salah alamat.
“Akhirnya terjadi pembiaran selama 6 tahun. Siapa yang bertanggung jawab dan apa kompensasinya bila harus masuk penjara selama 4 tahun dan harus mati dalam penjara,” ujar Mantan Pangdam Brawijaya 1997-1998.
Selama 22 tahun sejak tahun 2000, mantan Pangkostrad ini mengalami pembunuhan karakter untuk menghambat dan menghancurkan karier dan eksistensi dalam kehidupan bermasyarakat setelah purna bhakti.
“Sehingga tanpa disadari oleh pejabat terkait dalam perkaranya Negara telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM berat,” ujarnya dalam surat yang tertuju kepada Presiden Joko Widodo itu.
‘Jenderal Koruptor’
Mungkin baru pertama kali di tengah euphoria perubahan, media menjuluki Djadja Suparman mendapat julukan Jenderal Koruptor karena dituduh melakukan tindakan korupsi Rp 189 miliar, pada waktu jabat Pangkostrad 1999-2000. Saat itu juga karier militernya tamat.
Tapi selama 6 tahun sampai 2006 opini buruk tentang Djadja Suparman melekat dalam ingatan publik walaupun kemudian Irjenad TNI dan BPK RI mengatakan Djadja Suparman tidak terbukti melakukan korupsi di Kostrad.
Setelah pensiun 6 bulan pada Juni 2006 muncul lagi berita, Mantan Pangdam Brawijaya 1997-1998 Melakukan Korupsi Rp 17,6 milyar karena telah melakukan ruislag tanah Kodam 8,82 Ha kepada PT CMNP Tbk. Dasar pemberitaan adalah atas Laporan masyarakat kepada Komisi I DPR RI pada Mei 2006.
Sejak itu selama 16 tahun sampai dengan tahun 2022, Djadja Suparman disandera perkara baru korupsi. Proses hukum dilewati walaupun bukan tanggung jawabnya dan penuh rekayasa.
“Terjadi pelanggaran HAM berat oleh negara,” ujarnya dalam suratnya.
Djadja Suparman telah divonis 4 tahun penjara, subsidair kurungan pengganti selama 9 bulan pada 26 September 2013. Tapi tidak ditahan, padahal dirinya sudah siap masuk Penjara.
“Saya harus siap mati berdiri untuk memulihkan nama baik dan mati di penjara menanti keadilan dan kepastian hukum,” ujarnya.
Menghadapi eksekusi putusan MA, Djadja Suparman menyatakan bahwa dirinya tetap menolak kesimpulan Majelis hakim dan vonis hukum penjara, karena dirinya tidak pernah melakukan Ruislag atau hibahkan tanah Kodam Brawijaya pada tahun 1998 kepada pihak manapun. Karena berdasarkan bukti dan fakta tahun 2006 – 2013 tanah tersebut masih milik Kodam Brawijaya.
“Otomatis tidak ada kerugian Negara,” ujarnya.
Disisi yang lain Mantan Komandan Sesko TNI ini mengatakan sebagai warga negara yang taat hukum maka dirinya akan mengikuti prosedur dan ketentuan hukum.
“Saya siap masuk Lembaga Pemasyarakatan Militer Cimahi tanggal 16 Juli 2022,” tegasnya.
Djadja Suparman menjelaskan bahwa jalan yang akan ditempuh nanti adalah konsekwensi dari sikapnya selama ini.
“Mungkin karena saya menolak gabung dengan elit perubahan pada masa euphoria reformasi makanya saya dinilai pantas untuk dihancurkan. Semoga kasus yang menimpa saya ini menjadi bahan pembelajaran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk menjadi lebih baik,” ujarnya.(*)