JAKARTA, AKSIKATA.COM – Bagi dokter pemberian surat keterangan medik adalah suatu hal penting dan perlu kehati-hatian. Memberikan secara mudah dan tanpa mempertimbangkan risiko tentu akan berdampak kepada sanksi hukum.
Terlebih seorang dokter adalah pengabdi dan pelayan kesehatan bagi masyarakat. Di bawah sumpah seorang dokter yang begitu sakral, maka dokter harus bisa mengingat sumpah tersebut dalam menjalani profesinya sebagai dokter. Termasuk pemberian surat keterangan medik.
Surat keterangan medik, bukan hanya selembar catatan kertas tipis. Namun dalam surat tersebut juga menyangkut riwayat kesehatan pasien. Jika kondisinya memang seorang dokter harus mengeluarkan surat keterangan medik, maka wajib bagi dokter tersebut untuk mengeluarkannya.
Surat keterangan medik umumnya adalah surat tentang kondisi pasien yang memerlukan waktu untuk beristirahat, guna memulihkan kondisi kesehatannya yang menurun. Atau perawatan kesehatan lebih lanjut.
Menurut Guru Besar Kedokteran Forensik FKUI, Prof Herkutanto, yang disebut dengan surat keterangan medik adalah surat keterangan atau surat pernyataan yang dibuat oleh seorang dokter yang memiliki ijin praktik. Dokter tersebut memiliki kewenangan klinis kepada pihak ketiga untuk mendukung argumentasi yang dibuat oleh pihak ketiga dan bukan untuk kepentingn medik.
“Orang ketiga misalnya pihak tempat pemberi kerja pasien atau sekolahan pasien atau pengadilan. Pengadilan hukum itu adalah pihak ketiga yang memberikan keterangan medik tentang ada atau tidak adanya penyakit, termasuk kemampuannya dalam situasi seperti yang dikehendaki oleh pihak ketiga itu,” jelasnya, dalam kesempatan kepada aksikata.com, akhir pekan lalu.
Mengutip dasar hukumnya surat keterangan medik disebutkan Prof Herkutanto adalah Pasal 267 ayat (1), yang isinya, “Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat-cacat diancam dengan penjara dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.
Sementara Pasal 267 (2) isinya, “Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan”.
Sebab itulah, diingatkan Prof Herkutanto, surat keterangan medik harus dibuat oleh dokter itu sendiri dan setiap surat kererangan medik tadi danggap sebagai dokumen legal yang harus disimpan dengan baik.
“Apakah dia tempat praktik pribadi, harus punya filing, karena ini mengikat untuk pihak lain, karena ini bisa menimbulkan hak dan menghilangkan kewajiban,” katanya.
Lebih lanjut Prof Herkutanto juga mengatakan, “Yang bersangkutan mengungkapkan kepada dokter kemudian dokter apakah bisa dia, masih dalam batas kompetensinya atau tidak, setelah itu maka si dokter itu tadi harus meminta ijin dari yang bersangkutan yang akan diperiksa. Apakah yang bersangkutan itu bersedia untuk diungkapkan dalam keterangan mediknya.”
Menurutnya, surat keterangan medik bagi sebagian masyarakat bahkan sebagian kalangan dokter masih dipandang bukan sesuatu yang berkenaan dengan aturan hukum yang ketat. Tak heran, masih ditemui dokter bisa dengan mudah memberikan surat keterangan medik, padahal kondisi pasien tak memerlukan perawatan karena sakit.
“Ya masih dianggap biasa oleh masyarakat, tanpa melihat sebagai bentuk pihak yang menyalahgunakaan surat keterangan medik. Pertama, dari pihak dokternya yaitu memberikan keterangan surat medik tanpa pemeriksaan, atau memberikan keterangan medik tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Bisa juga oleh pihak lain yang memalsukan surat keterangan medik. Misalnya dokter tdak menuliskan surat keterangan medik tapi yang bersangkutan mencetak sendiri, memalsukan. Dan itu jelas terkena sanksi pidana 268 KUHP,” ujar Prof Herkutanto tegas.
Surat keterangan medik itu jenisnya disebutkan Prof Herkutanto ada 28 jenis, mulai dari keterangan lahir sampai kematian.
“Masing-masing tergantung kebutuhannya, misalkan apakah yang bersangkutan layak bekerja atau tidak, layak istirahat atau tidak, apakah yang bersangkutan tadi layak diperiksa di pengadilan atau tidak. Itu juga misalnya contoh-contoh untuk surat keterangan asuransi, ada atau tidak adanya penyakit resitance diseases, itu juga merupakan bagian dari surat keterangan medik. Boleh dikatakan tidak terbatas,” jelasnya.
Intinya adalah pihak ketiga tersebut ingin mengambil suatu keputusan tetapi digantungkan ada atau tidaknya kondisi fisik tertentu yang bersangkutan. “Itulah diokter harus tahu konsekuensi dalam menerbitkan surat keterangan medik tadi.”
Dalam mengeluarkan surat keterangan medik, seorang dokter harus mengecek identitas pasien, tanyakan kebutuhannya memerlukan surat keterangan medik untuk apa. Jika sakit dan memerlukan istirahat, maka dokter akan memberikan demikian apa adanya.
Diakui Prof Herkutanto memang masih banyak dokter yang dengan mudah mengeluarkan surat keterangan medik, padahal sebenarnya tidak diperlukan dan wajib dikeluarkan, jika kondisi pasien sebenarnya sehat.
“Harusnya seorang dokter menanggapinya dengan lebih serius atas tindakan sebagian dokter untuk mengacuhkan hal-hal semacam itu. Karena tindakannya menzalimi hak-hak tertentu, misalnya hak dari perusahaan untuk meminta pekerjaan dia. Walaupun dia bisa, tapi dokter berkonspirasi untuk melakukan keterangan yang tidak benar.”
Terlebih ada sanksi hukuman, yaitu ancaman hukuman penjara kurang lebih 4 tahun, hukuman akan lebih berat lagi jika yang melakukan itu adalah seorang psikiater dengan tujuan memasukkan ke RS Jiwa, hukumannya bisa 2 kali lipat.
Menurutnya, contoh kasus yang menimpa mantan Ketua DPR Setya Novanto, dimana pengacara terdakwa kasus korupsi itu dianggap menghalang-halangi penyelidikan kasus hukum Setya Novanto.
“Kalau kasus Setya Novanto bukan memalsukan tapi menghalang-halangi kasus penyelidikannya,” katanya.
Dirinya juga pernah diminta untuk menjadi saksi ahli dalam kasus dimana seorang terdakwa terbukti memalsukan surat keterangan asuransi. “Tidak sakit namun ditulis sakit dalam keterangan mediknya untuk memudahkan ia mendapatkan klaim asuransi,” katanya.