JAKARTA, AKSIKATA.COM – Pemerintah saat ini sedang membutuhkan dana besar untuk menggerakan organisasi pemerintahan dan membiayai pembangunan. Salah satu cara yang paling mudah dan sederhana memperoleh dana segar adalah dengan menaikan cukai rokok. Termasuk kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen akhir tahun 2021.
Dengan demikian kenaikan cukai rokok tersebut bukan untuk mengurangi prevalensi masyarakat merokok. Menaikan cukai rokok setinggi apapun tidak akan mengurangi jumlah anggota masyarakat merokok, jika tidak diikuti kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok. Sebab, merokok sampai saat ini masih menjadi budaya yang erat terutama di kalangan masyarakat sehingga masih susah untuk dihentikan hanya melalui program kenaikan cukai.
“Rokok dan masyarakat Indonesia sudah menjadi budaya yang sangat sulit dipisahkan. Apalagi tokoh tokoh masyarakat rata rata pada merokok. Maka, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok, itu tidak akan membuat masyarakat berhenti merokok. Masyarakat tetap akan merokok, tetapi kalau rokonya mahal karena cukai rokoknya dinaikan, maka masyarakat akan beralih ke rokok lintingan atau rokok illegal,” papar Sosilog Universitas Air Langga yang kini menjadi dosen tetap di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Umar Solahudin, kepada pers di Jakarta, Kamis (24/2).
Umar Solahudin menjelaskan, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok adalah kebijakan yang menguntungkan pemerintah. Tidak ada Kaitannya dengan upaya menghentikan masyarakat merokok. Karena itu pemerintah harus bersikap adil. Jika pemerintah sudah mengambil keuntungan dari menaikan cukai rokok, maka pemerintah harusnya meningkatkan anggaran bagi perawatan kesehatan masyarakat yang merokok.
Mantan aktifis mahasiswa 1998 ini mengaku tidak setuju dengan kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok. Alasannya, selain tidak berpengaruh positif pada penurunan jumlah masyarakat merokok, lambat laun akan mematikan kesempatan kerja baik bagi buruh industri rokok maupun petani tembakau itu sendiri.
“Kecuali kalau pemerintah sudah siap dengan lapangan pekerjaan pengganti bagi jutaan tenaga kerja di sektor industri rokok dan mata pencaharian pengganti bagi petani tembakau. Tentu saja mencari pengganti lapangan pekerjaan dan mata pencaharian bagi petani tembakau itu bukan hal yang mudah. Apalagi di saat ekonomi mengalami krisis seperti saat ini,” paparnya.
Pendapat senada disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Formasi (Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia) Ahmad Guntur. Menurut Ahmad Guntur, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen ini terlalu besar.
“Sekiranya pemerintah membutuhkan dana dari cukai rokok. Kenaikannya idealnya tidak lebih dari 8 persen,” papar Ahmad Guntur.
Dosen Universitas Negeri Jember Dr Fendy Setyawan menuturkan, mengalihkan mata pencaharian dari pertanian atau perkebunan tembakau ke sektor lain, bukan pilihan yang mudah bagi kalangan petani tembakau. Alasannya tidak semua lahan itu cocok untuk selain tembakau yang memiliki nilai ekonomi.
“Secara obyektif dari kaca mata akademisi sangat memahami sebuah kebutuhan pembiayaan di dalam pembangunan nasional ini dan cukai adalah salah satu sumber pembiayaan yang dinilai sangat strategis oleh pemerintah. Jadi pemerintah melakukan pendekatan dua aspek dalam konteks kenaikan cukai ini, aspek yang pertama sebagai instrument pengendalian, aspek kedua adalah dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan negara,” tuturnya.
Meskipun kenaikan cukai menguntungkan pemerintah, karena mendapatkan tambahan dana untuk membiayai pembangunan, menurut Fendy Setyawan, kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen justru menurunkan pendapatan masyarakat petani tembakau termasuk buruh rokok itu sendiri.
“Implikasi dari adanya kenaikan cukai rokok ini justru akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat tembakau terutama di sektor petani, “papar Fendy Setyawan.
Road Map IHT
Baik Umar Solahudin, Ketua Formasi Ahmad Guntur maupun Fendy Setyawan sepakat, pemerintah perlu membuat road map atau peta jalan industri rokok nasional. Road map tersebut perlu dibuat bersama antara pemerintah dengan pelaku industri rokok, petani tembakau dan tenaga Kesehatan.
“ Roadmap sangat penting untuk melindungi keberlangsungan industri rokok Nasional yang mana pembuatan roadmap tersebut harus melibatkan stake holder terkait, “ tegas Ketua Formasi Ahmad Guntur.
Menurut Fendy Setyawan, road map Industri Hasil Tembakau atau IHT itu harus ada. Karena pada setiap satu perencanaan itu akan bisa kita lihat dan evaluasi serta pencapaiannya bisa diukur.
“Tetapi masalahnya adalah dalam penyusunan roadmap ini juga tekananya cukup besar baik dari institusi pemerintah terkait maupun industri. Karena jangan sampai hanya atas nama kesehatan potensi sumber daya yang kita miliki dan keberlangsungan IHT ini terdampak, karena kaitannya hulu hilir ini kan sangat jelas untuk IHT, dan ini spesifik geograpis terkait dengan bahan baku. Artinya itu menjadi sumber daya yang tidak semua negara mampu untuk mengadakan ini,” papar Fendy Setyawan.
Ditambahkan oleh Umar Solahudin, dengan adanya road map, akan terpampang lebih jelas masa depan IHT nasional ke depan seperti apa. Termasuk upaya upaya apa yang perlu dilakukan pemerintah, agar muncul kesadaran dari dalam diri masyarakat sendiri untuk mengurangi konsumsi rokok. Sekaligus juga mempersiapkan masyarakat petani tembakau dan buruh rokok, jika IHT nasional semakin berkurang atau mengurangi produksinya.
“Jadi dalam road map IHT nanti, selain tertera secara jelas, berapa persen kenaikan cukai rokok dari tahun ke tahun, juga masa depan IHT mau diapakan? Yang tidak kalah pentingnya, pemerintah juga memiliki agenda yang jelas bagaimana membangkitkan kesadaran masyarakat dalam mengurangi. Konsumsi rokok. Untuk itu road map ini harus dibuat bersama oleh berbagai pihak yang ada dalam negara ini. Termasuk melinatkan petani tembakau dan aktifis Kesehatan. Bukan hanya dibuat oleh pihak pemerintah tanpa berdiskusi dengan pihak lain,” papar Umar.