JAKARTA, AKSIKATA.COM – Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja, terutama kelompok rentan, perempuan dan anak yang menjadi korban. Tindakan kekerasan seksual itu bertentangan dengan HAM sehingga wajib dihormati oleh setiap orang dan jadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak warga negara.
Demikian diungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati saat membuka workshop dengan tema “Kontribusi Ilmuwan Muslimah Dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual” secara hybrid, Sabtu (19/2/2022), yang digelar Majelis Alimat Indonesia (MAI) atau Majelis Ilmuwan Musilmah Indonesia.
Menurut Menteri Gusti Ayu, negara, dalam hal ini pemerintah berkomitmen kuat untuk memberikan rasa aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan dan merendahkan harkat martabat manusia. Komitmen itu ditunjukan oleh Presiden Joko Widodo melalui hasil rapat terbatas pada 9 Januari 2020 yang menghasilkan risalah antara lain, memprioritaskan pada aksi pencegahan, pelayanan pengaduan, manajemen kekerasan dengan membentuk one stop services, proses penegakan hukum yang memberikan efek jera dan rehabilitasi sosial terhadap korban.
“Untuk penanganan secara komprehensif dibutuhkan komitmen semua pihak untuk bersinergi dan MAI hadir sesuai dengan kapasitasnya,” kata Menteri Gusti Ayu.
Senada dengan Mentri Gusti Ayu, MAI mendorong disahkannya RUU Tindak Penghapusan Kekerasan Seksual (TPKS) oleh DPR. Organisasi yang memiliki cabang di 12 Wilayah dan sudah beraktifitas sejak tahun 2000 ini mendesak agar regulasi tersebut harus memprioritaskan pencegahan, pelindungan dan penanganan terhadap korban dan penegakan hukumnya dapat membuat efek jera bagi pelakunya.
MAI selain menentang kekerasan seksual yang bertentangan dengan Pancasila dan HAM, organisasi ini juga prihatin dengan kekerasan seksual yang terus meningkat karena kekerasan seksual terjadi di tempat paling aman, seperti keluarga, tempat Pendidikan, tempat kerja dan sebagainya
Menurut Ketua MAI Prof. Dr. Amany Lubis, MA., penghapusan kekerasan seksual harus didorong dengan regulasi yang tepat. “Memang RUU TPKS masih perlu disempurnakan, sebab masih banyak celah yang harus diperjelas dan diselaraskan dengan UU yang sudah ada seperti KUHP, UU Anti Pornografi, UU Perlindungan Anak, dan UU lainnya,” sahutnya.
Akan tetapi jika RUU TPKS ini disahkan, maka masyarakat ada mekanisme yang lebih jelas untuk penanganan korban kekerasan seksual dan tindakan hukum bagi pelakunya serta membuat masyarakat berani bersuara.
“Terhadap isu kekerasan seksual, MAI mencoba ikut serta melindungi masyarakat. Sekarang ini masih banyak masalah yang didiamkan, misalnya ketika ada tindak kekerasan seksual di unit pendidikan mereka diam dengan alasan segan pada guru karena relasi kuasa atau untuk menjaga nama baik institusi. Ini tidak boleh lagi terjadi. Semua harus bergerak dan bersuara karena korban dilindungi payung hukum yang jelas,” kata Amany.