JAKARTA, AKSIKATA.COM – Banyaknya aset hasil korupsi yang disembunyikan para koruptor ke luar negeri, tak terdatanya jumlah yang dilarikan, dan sulitnya pemerintah Indonesia melakukan perampasan, menjadi bahan diskusi terbuka dalam sidang promosi Muhammad Idris Froyoto Sihite, mahasiswa program doktor kriminologi Universitas Indonesia, Senin (27/12/2021).
Sidang yang berlangsung secara daring ini dihadiri Menteri ESDM, Ir. Arifin Tasrif, Deputi III Kemenko Polhukam, Dr. Sugeng Purnomo, dan puluhan undangan lainnya.
Dalam pidatonya, promovendus memaparkan hambatan berlapis pemerintah Indonesia dalam usaha menarik aset-aset hasil korupsi yang tersebar di banyak negara.
Lapis pertama, sulitnya melacak keberadaan aset koruptor karena umumnya sudah dialihkan ke dalam bentuk dan atas nama orang lain. Lapis kedua, kalaupun keberadaan diketahui, perbedaan sistem hukum menyulitkan upaya perampasannya. Sedangkan lapis ketiga adalah proses mengembalikan aset sering terhalang formalitas sistem birokrasi.
Problem sulitnya mengembalikan aset ini dikhawatirkan akan membuat banyak koruptor menggunakan modus serupa untuk menyembunyikan hasil kejahatannya. Terlebih angka korupsi di Indonesia 16 tahun terakhir telah mencapai Rp 225,7 triliun. Angka yang setara untuk biaya mengalirkan listrik di 5.040 desa terpencil atau setara biaya pendidikan untuk 3,36 juta siswa sampai ke perguruan tinggi.
Di depan dewan penguji yang terdiri dari Prof Dr. Dody Prayogo, Prof Dr. Muhammad Mustofa, MA, Vishnu Juwono, SE, MIA, PhD, Prof Adrianus Meliala, PhD, Dr. Zainal Abidin, MSi, Dr. Vinita Susanti, MSi, Dr. Ni Made Martini Puteri, MSi, dan Dr. Iqrak Sulhin, MSi, promovendus menjelaskan bahwa kegagalan menarik aset inilah yang mengakibatkan negara menjadi korban atau terviktimisasi.
Dalam posisi negara sebagai korban, menurut promovendus, dampaknya pada kemampuan negara melaksanakan fungsinya. Sebab apabila korupsi dilakukan birokrat, maka birokrat tersebut adalah pelaku viktimisasi negara, padahal di lain pihak birokrat adalah instrumen negara yang berkewajiban untuk melakukan penarikan aset.
Selain itu, kata promovendus, terdapat persepsi di kalangan aparat penegak hukum bahwa negara adalah entitas yang abstrak, mereka mengganggap tidak ada yang dirugikan secara langsung. Hal ini kemudian disimpulkan oleh promovendus bahwa negara adalah korban tersamar kejahatan korupsi, dan melalui analisis teori ‘prisma kejahatan’ disebut “the state as invisible victim”.
Setelah mendengar sanggahan atas pertanyaan dewan penguji, pimpinan sidang akhirnya memutuskan Muhammad Idris Froyoto Sihite dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan berhak menyandang gelar doktor kriminologi. Promovendus tercatat sebagai doktor kriminologi ke-28 pada Departemen Kriminologi Universitas Indonesia. (PR)