Dosen FTI UBSI Hadirkan Mini Traffic Light Learning Kit di Lembaga Pendidikan Kazama

BEKASI, AKSIKATA.COM – Dalam upaya mendukung pendidikan inklusif dan penguatan karakter anak berkebutuhan khusus (ABK), tim dosen dan mahasiswa Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Kaliabang melaksanakan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) di Lembaga Pendidikan Kazama, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, beberapa waktu silam.

Kegiatan bertajuk “Pengembangan Media Belajar Berbasis Mini Traffic Light Elektronik untuk Melatih Disiplin dan Kemandirian Anak” ini merupakan bagian dari skema Pengabdian Kepada Masyarakat Mandiri yamg merupakan wujud nyata Tri Dharma Perguruan Tinggi dan bertujuan menjawab tantangan nyata di lapangan dengan solusi teknologi sederhana namun berdampak luas.

Lembaga Pendidikan Kazama, yang telah beroperasi sejak 7 September 2016, merupakan pusat terapi dan bimbingan belajar yang fokus pada pendidikan inklusif untuk anak-anak, termasuk ABK. Dengan hanya empat guru/terapis yang melayani sekitar 15 anak, lembaga ini menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya: keterbatasan media pembelajaran inovatif berbasis teknologi, kesulitan anak dalam memahami konsep disiplin dan aturan, serta kebutuhan akan alat bantu yang mendorong kemandirian tanpa ketergantungan terus-menerus pada tenaga pengajar.

Menjawab persoalan tersebut, tim UBSI mengembangkan Mini Traffic Light Learning Kit, yaitu media pembelajaran interaktif berupa miniatur lampu lalu lintas elektronik yang menggunakan lampu LED merah, kuning, dan hijau yang dikendalikan oleh rangkaian elektronika sederhana berbasis IC timer atau mikrokontroler (seperti Arduino Nano).

“Alat ini dirancang tidak hanya sebagai simulasi visual, tetapi sebagai sarana konkret untuk mengajarkan nilai-nilai seperti: menunggu giliran, mengikuti aturan, mengatur emosi, serta membangun kemandirian dalam aktivitas sehari-hari,” kata Martias, Ketua Pelaksana.

Sebelum penyerahan alat, tim UBSI memberikan pelatihan intensif. menggunakan pendekatan partisipatif, di mana guru dan terapis secara aktif mencoba mengoperasikan alat dan merancang aktivitas pembelajaran sendiri berdasarkan panduan yang diberikan.

Menurutnya, program ini memberikan manfaat ganda: pertama, meningkatkan kualitas proses pembelajaran di Kazama melalui pendekatan yang lebih interaktif dan multisensori; kedua, membangun kemandirian anak dalam memahami dan mengikuti aturan tanpa supervisi konstan.

Selain itu, program ini juga memperkuat peran perguruan tinggi dalam menjawab isu sosial melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. “Kami percaya bahwa teknologi tidak harus rumit untuk bermanfaat. Dengan desain yang sederhana, aman, dan kontekstual, alat seperti ini bisa menjadi jembatan antara dunia nyata dan pembelajaran nilai-nilai dasar,” kata Martias.

Tim UBSI juga menyediakan pendampingan jarak jauh melalui saluran komunikasi digital (WhatsApp/email) untuk menangani kendala teknis atau konsultasi pembelajaran. Hal ini memastikan bahwa dampak program tidak berhenti pada hari pelaksanaan, tetapi berkelanjutan dalam jangka panjang.

“Pendidikan inklusif bukan hanya tentang akses, tetapi juga tentang kualitas dan relevansi. Kami berharap inovasi sederhana ini bisa menjadi inspirasi bagi lembaga lain dan mendorong lebih banyak kolaborasi antara perguruan tinggi dan komunitas lokal,” tutup Martias.