Tragedi Ledakan di SMAN 72 Jakarta Cermin Kelam Dampak Perundungan di Sekolah

JAKARTA, AKSIKATA.COM – Jumat siang, 7 November 2025, ledakan mengguncang area masjid SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara menyisakan kepanikan dan luka mendalam. Dua ledakan mengguncang saat salat Jumat berlangsung. Ledakan pertama terjadi di lantai tiga musala, disusul ledakan kedua di area kantin belakang. Kepanikan menyebar cepat.

Kaca pecah, asap mengepul, dan puluhan siswa berlarian menyelamatkan diri. Lebih dari 60 orang dilarikan ke rumah sakit, empat di antaranya mengalami luka serius di wajah dan kepala. Di tengah investigasi, muncul temuan mengejutkan: benda menyerupai senjata api ditemukan di lokasi ledakan.

Namun, Wakil Menko Polhukam Lodewijk Freidrich Paulus memastikan bahwa benda tersebut adalah senjata mainan, bukan senjata sungguhan. Selain itu, ditemukan kaleng minuman yang dimodifikasi dengan sumbu dan remot kecil
diduga sebagai bom rakitan yang dibawa oleh seorang siswa yang diketahui sangat pendiam.

Di balik asap yang mengepul, tersisa satu pertanyaan besar: apa yang mendorong seorang pelajar membawa bom rakitan ke sekolahnya sendiri?

Dugaan awal mengarah pada perundungan. Seorang siswa yang kerap diejek dan dikucilkan disebut sebagai pelaku. Ia diduga mengalami tekanan psikologis yang berat, hingga nekat membawa bom rakitan ke lingkungan sekolah.

Saksi mata menyebut bahwa pelaku sempat menunjukkan tanda-tanda depresi dan keinginan untuk mengakhiri hidup. Motif balas dendam dan keputusasaan menjadi dugaan kuat di balik aksi nekat tersebut. Ledakan itu bukan sekadar insiden kekerasan, melainkan jeritan sunyi dari jiwa yang tertekan.

Peristiwa ini menggugah keprihatinan nasional. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas motif di balik ledakan, termasuk menelusuri kemungkinan bahwa pelaku adalah korban perundungan.

Ia menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya soal bom, tetapi juga tentang kegagalan sistem pendidikan dalam menciptakan ruang aman bagi siswa untuk tumbuh dan belajar tanpa rasa takut.

Perundungan di sekolah bukanlah hal baru. Perundungan di sekolah sering kali dianggap sepele,d ampaknya sering kali diremehkan, padahal dampaknya bisa sangat destruktif. Korban bullying bisa mengalami gangguan mental seperti kecemasan, depresi, dan trauma jangka panjang.

Dalam kasus ekstrem, tekanan psikologis dapat mendorong tindakan berbahaya, seperti yang terjadi di SMAN 72. Tekanan mental bisa mendorong tindakan destruktif yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Senjata mainan dan bom rakitan bukan sekadar alat kekerasan, melainkan simbol dari jiwa yang tertekan dan tak menemukan jalan keluar.

Perundungan bukan hanya menyakiti secara verbal atau fisik, tetapi juga merusak harga diri dan rasa aman seseorang. Ketika rasa terasing dan tidak berdaya menumpuk, pelarian bisa muncul dalam bentuk yang tak terduga dan tragis.

Ledakan di SMAN 72 menjadi alarm keras bagi semua pihak: sekolah, orang tua, pemerintah, dan masyarakat. Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap praktik perundungan yang terjadi secara diam-diam di lorong-lorong kelas. Pendidikan harus menjadi ruang inklusif, bukan arena kekuasaan sosial yang menindas yang lemah.

Sekolah harus menjadi ruang aman, bukan tempat di mana kekuasaan sosial menindas yang lemah. Perlu ada sistem deteksi dini terhadap gejala gangguan psikologis, serta pendekatan konseling yang humanis dan inklusif. Kita tidak bisa lagi menunggu tragedi untuk bertindak.

Kini, saat puing-puing ledakan dibersihkan, yang tersisa adalah luka psikologis yang jauh lebih sulit disembuhkan. Tragedi ini harus menjadi titik balik. Bukan hanya untuk mengusut pelaku, tetapi untuk menyelamatkan generasi muda dari kekerasan yang tak terlihat—yang menggerogoti jiwa mereka perlahan, hingga suatu hari meledak dalam bentuk yang paling menyakitkan.