SOLO, AKSIKATA.COM — Kota Surakarta hari ini diliputi suasana duka yang mendalam seiring dengan berlangsungnya prosesi pemakaman Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII. Almarhum wafat pada Minggu pagi, 2 November 2025, dan dimakamkan di Kompleks Makam Raja-Raja Mataram, Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Prosesi pemakaman ini menjadi momen sakral yang menyatukan tradisi, penghormatan, dan rasa kehilangan dari seluruh lapisan masyarakat, keluarga keraton, serta tokoh-tokoh nasional.
Sejak pagi hari, jenazah PB XIII disemayamkan di Sasana Parasdya, Keraton Surakarta, tempat para pelayat dari berbagai kalangan datang memberikan penghormatan terakhir.
Jenazah Pakubuwono XIII direncanakan dibawa dari Keraton Surakarta menggunakan kereta Rata Pralaya menuju Rumah Dinas Wali Kota Solo di Loji Gandrung.
Joko Widodo turut hadir didampingi Wali Kota Solo Respati Ardi, menandakan kedekatan antara pemimpin nasional dan tokoh budaya Jawa yang telah wafat. Di pelataran Bangsal Maligi, prosesi brobosan dilaksanakan sebagai bagian dari ritual adat Jawa.
Dalam prosesi ini, para anggota keluarga berjalan di bawah peti jenazah yang sedang diusung, sebagai simbol penghormatan terakhir dan pelepasan secara spiritual. Tradisi brobosan ini mencerminkan nilai-nilai luhur budaya Jawa yang menjunjung tinggi penghormatan kepada leluhur dan pemimpin.
Setelah prosesi di dalam keraton selesai, jenazah PB XIII dikirab keluar melalui pintu Magangan Keraton. Iring-iringan jenazah diiringi oleh prajurit keraton lengkap dengan busana adat, gamelan, dan tabuhan gendhing yang mengiringi perjalanan terakhir sang raja.
Sebelum dibawa ke Imogiri, jenazah Pakubuwana XIII akan dikirab terlebih dahulu, dengan 4 kereta dan total 16 kuda.
Pangarso Dalem KP Setyanto Nagoro mendapat mandat sebagai kusir untuk mengemudikan kereta yang membawa jenazah Pakubuwana XIII. Sebanyak 8 ekor kuda akan menarik kereta ini.
Sepanjang rute kirab, masyarakat Solo berdiri di sisi jalan, menundukkan kepala, dan menaburkan bunga sebagai bentuk penghormatan.
Udik-udik, berupa uang logam dan bunga, disebar sepanjang perjalanan sebagai simbol berkah dan harapan agar masyarakat senantiasa mendapatkan limpahan rezeki dan keselamatan. Tradisi ini juga menjadi pengingat akan peran raja sebagai pelindung dan pemberi berkah bagi rakyatnya.
Sesampainya di Loji Gandrung, jenazah PB XIII transit sejenak sebelum diberangkatkan menuju Imogiri.
Adapun rute perjalanan rombongan dari Bantul untuk menuju ke makam Imogiri yakni Jalan Raya Janti (Blok O), Ketandan, Karangturi, Gondowulung, Jalan Imogiri Timur hingga Pajimatan, Imogiri.
Di sana, prosesi pemakaman dilanjutkan dengan tata cara adat yang ketat, dipimpin oleh para pengageng keraton dan tokoh-tokoh adat.
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari atau Gusti Moeng, adik almarhum, menyampaikan bahwa seluruh rangkaian prosesi telah disusun dengan cermat agar selaras dengan tatanan budaya Jawa yang penuh makna.
Ia menegaskan bahwa pemakaman Sinuhun bukan sekadar ritual, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap warisan budaya dan nilai-nilai spiritual yang dijunjung tinggi oleh Keraton Surakarta.
Di Kompleks Makam Raja-Raja Mataram Imogiri, jenazah PB XIII akan dimakamkan di tempat yang telah disiapkan khusus, berdampingan dengan para pendahulunya.
Prosesi pemakaman di Imogiri berlangsung khidmat, dihadiri oleh keluarga besar keraton, tokoh adat, serta masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.
Pengamanan ketat dilakukan oleh aparat gabungan untuk memastikan kelancaran acara, mengingat besarnya antusiasme masyarakat yang ingin menyaksikan langsung momen bersejarah ini.
Kepergian PB XIII tidak hanya meninggalkan duka bagi keluarga dan keraton, tetapi juga membuka babak baru dalam sejarah Kasunanan Surakarta. Isu suksesi mulai mencuat, dengan spekulasi mengenai siapa yang akan melanjutkan tahta, apakah putra bungsu atau adik almarhum.
Namun, sesuai tradisi, penetapan penerus biasanya menunggu hingga 40 hari setelah wafatnya raja, sebagai bentuk penghormatan dan waktu berkabung yang layak.
Prosesi pemakaman PB XIII menjadi pengingat akan pentingnya menjaga tradisi dan nilai-nilai budaya di tengah arus modernisasi. Ia dikenang sebagai pemimpin yang menjembatani masa lalu dan masa kini, menjaga warisan leluhur sambil membuka ruang dialog dengan masyarakat luas.
Di tengah tangis dan doa, masyarakat Solo dan Yogyakarta melepas kepergian sang raja dengan penuh hormat, menjadikannya bagian abadi dari sejarah dan spiritualitas Jawa.




