SERANG, AKSIKATA.COM— Di tengah upaya pelestarian budaya lokal, Golok Banten kini tengah dipromosikan untuk masuk sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia di UNESCO.
Golok Banten bukan sekadar senjata tajam, melainkan simbol kekuatan, keberanian, dan identitas masyarakat Banten yang telah diwariskan secara turun-temurun. Dalam sejarahnya, golok menjadi bagian penting dari kehidupan sosial dan spiritual masyarakat, digunakan dalam berbagai ritual adat, pertahanan diri, hingga sebagai lambang kehormatan.
Pada masa pemerintahan Sultan Banten Pertama Kanjeng Sinuhun Sultan Maulana Hasanudin atau yang bergelar Panembahan Surosowan, golok Banten berfungsi sebagai Alat persenjataan pasukan Kesultanan Banten.
Bentuknya yang khas, teknik pembuatannya yang rumit, serta nilai filosofis yang terkandung di dalamnya menjadikan golok Banten sebagai artefak budaya yang layak mendapat pengakuan dunia.
Bagi masyarakat Banten, golok memiliki posisi istimewa sebagai representasi keberanian, kehormatan, dan identitas lokal. Ia hadir dalam berbagai aspek kehidupan: dari ritual adat, pertahanan diri, hingga sebagai lambang status sosial dan spiritual. Dalam tradisi masyarakat Baduy, misalnya, golok bukan hanya alat, tetapi juga bagian dari warisan leluhur yang dijaga dengan penuh penghormatan.
Proses pembuatan golok Banten melibatkan keterampilan tinggi dan nilai-nilai filosofis yang diwariskan secara turun-temurun. Pandai besi yang membuat golok tidak hanya bekerja secara teknis, tetapi juga mengikuti tata cara dan etika tertentu yang mencerminkan hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual. Setiap lekukan, ukiran, dan bilah golok memiliki cerita, mencerminkan karakter pemiliknya serta fungsi sosial yang diemban.
Dalam konteks budaya populer, golok Banten juga menjadi ikon dalam pertunjukan seni bela diri, teater tradisional, dan parade budaya. Ia tampil sebagai simbol kekuatan yang tidak agresif, melainkan penuh kendali dan kebijaksanaan.
Bahkan dalam diplomasi budaya, golok Banten mulai diangkat sebagai warisan yang layak diperkenalkan ke dunia internasional, mengingat nilai-nilainya yang universal: keberanian, kejujuran, dan kehormatan.
Pelestarian golok sebagai budaya bukan hanya soal menjaga benda fisik, tetapi juga merawat narasi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ia mengajarkan generasi muda tentang pentingnya menghargai warisan, memahami akar budaya, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas lokal.
Dalam dunia yang semakin modern, golok Banten menjadi pengingat bahwa kekuatan sejati terletak pada tradisi yang dijaga dengan hati dan diwariskan dengan cinta.
Pengajuan Golok Banten ke Unesco juga sebagai langkah strategis untuk melindungi dan melestarikan warisan leluhur dari ancaman kepunahan akibat modernisasi dan kurangnya regenerasi pengrajin tradisional.
Kementerian Luar Negeri melalui Sesdilu berkomitmen untuk mendorong diplomasi budaya yang lebih aktif, termasuk dengan mengangkat kekayaan lokal seperti Golok Banten ke panggung dunia. Proses pengajuan ke UNESCO akan melibatkan dokumentasi sejarah, kajian antropologis, serta dukungan komunitas lokal yang masih menjaga tradisi pembuatan dan penggunaan golok hingga kini.
Dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah, komunitas budaya, dan lembaga pendidikan, harapan besar disematkan agar Golok Banten dapat segera diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO. Pengakuan ini diharapkan mampu meningkatkan kebanggaan masyarakat Banten, memperkuat identitas budaya nasional, serta membuka peluang promosi budaya Indonesia di kancah internasional.



