BEKASI, AKSIKATA.COM – Di tengah pesatnya kemajuan teknologi, inovasi tidak selalu soal kecanggihan, tetapi juga tentang kepedulian. Inilah yang ditunjukkan oleh tim dosen UBSI yang terdiri dari Ketua Tim Hari Sugiarto, Zahra, dan Cep Adiwihardja, dibantu oleh dua mahasiswa. Mereka mengembangkan software edukasi interaktif yang dirancang khusus untuk anak berkebutuhan khusus (ABK).
Berlokasi di Lembaga Terapi KAZAMA sebagai objek pengembangan software, mereka memperlihatkan interaksi penuh empati antara para dosen, mahasiswa, dan anak-anak. Seorang anak tampak antusias menatap layar tablet sambil mengikuti panduan huruf yang tampil penuh warna. Tawa dan semangat belajar menjadi bukti bahwa pendidikan inklusif bukan sekadar konsep, tetapi benar-benar bisa diwujudkan.
Software ini tidak hanya sekadar media belajar digital, tetapi alat bantu adaptif yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan unik setiap anak. Aplikasi ini menggabungkan unsur visual, suara, dan sentuhan interaktif agar proses belajar menjadi lebih mudah dipahami dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini, anak-anak dapat belajar membaca dan menulis tanpa tekanan, melainkan melalui pengalaman yang menyenangkan dan penuh makna.
Menurut Ketua Tim, Hari Sugiarto, proyek ini merupakan bentuk nyata kepedulian kampus terhadap dunia pendidikan inklusif. “Kami ingin menghadirkan teknologi yang berpihak pada semua anak. Tidak ada anak yang tertinggal hanya karena cara belajarnya berbeda. Justru dari perbedaan itu, kita belajar tentang makna sesungguhnya dari pendidikan,” ujarnya.
Keterlibatan dua mahasiswa dalam kegiatan ini juga menjadi pengalaman belajar berharga. Mereka tidak hanya berperan sebagai tutor, tetapi juga belajar memahami karakteristik anak-anak ABK secara langsung. “Melihat anak-anak tersenyum saat berhasil mengenal huruf adalah kebahagiaan tersendiri bagi kami,” ujar salah satu mahasiswa dengan mata berbinar.
Respon positif datang dari para orang tua yang menyaksikan langsung penggunaan aplikasi tersebut. Mereka merasa anak-anak lebih fokus dan tertarik belajar dibandingkan metode konvensional. “Biasanya anak saya cepat bosan, tapi dengan aplikasi ini dia malah minta belajar lagi,” kata salah satu orang tua dengan penuh rasa haru.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa teknologi dan empati dapat berjalan beriringan, menciptakan ruang belajar yang inklusif, menyenangkan, dan penuh harapan. Tim dosen berharap program ini dapat dikembangkan lebih luas, tidak hanya untuk satu komunitas, tetapi juga untuk sekolah inklusi dan lembaga pendidikan khusus di seluruh Indonesia.
Dengan inovasi ini, universitas membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga tentang memahami dan menyentuh hati.