JAKARTA, AKSIKATA.COM – Konflik bertetangga yang biasanya berakhir di meja RT kini menjalar ke ruang publik, media sosial, dan bahkan institusi hukum. Itulah yang terjadi antara KH Muhammad Imam Muslimin—dikenal sebagai Yai Mim, mantan dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang—dan tetangganya Sahara, pemilik usaha rental mobil. Perseteruan mereka, yang bermula dari urusan parkir dan lahan di Perumahan Joyogrand, Merjosari, Kota Malang, kini menjadi sorotan nasional.
Tanah Wakaf dan Mobil yang Menghalangi
Yai Mim mengklaim bahwa tanah di depan rumahnya adalah milik pribadi yang telah diwakafkan untuk jalan umum sejak 2007. Ia membersihkan lahan tersebut dari ilalang dengan biaya Rp12 juta dan sempat meminta kontribusi dari Sahara dan suaminya, Shofwan. Meski hanya diberi Rp400 ribu, Yai Mim tidak mempermasalahkan.
Namun, setelah lahan bersih, Sahara mulai memarkir mobil rentalnya di sana. Beberapa kali Yai Mim kesulitan keluar masuk rumah karena mobil-mobil tersebut menghalangi akses. Puncaknya terjadi saat ia pulang dari Jakarta dan mendapati mobil rental Sahara menghalangi pintu rumah. Sahara meminta Yai Mim memindahkan sendiri mobil tersebut, yang kemudian memicu insiden emosional.
Tuduhan Cabul dan Video TikTok
Konflik tak berhenti di situ. Ketika istri Yai Mim sedang berhaji, anak Sahara bermain di rumah Yai Mim. Sahara menyusul dan mengunci rumah Yai Mim dari luar, dengan alasan agar anaknya tetap di dalam. Ia kemudian melihat Yai Mim mencuci pakaian di lantai atas hanya mengenakan boxer, dan langsung meneriakinya dengan sebutan “cabul.”
Sahara mulai rutin mengunggah video pertengkaran mereka ke TikTok. Salah satu video yang viral menunjukkan Yai Mim berguling-guling di tanah, yang disebut-sebut sebagai aksi pura-pura stroke saat berhadapan dengan polisi. Konten tersebut memicu reaksi publik yang beragam—ada yang membela Yai Mim sebagai korban persekusi, ada pula yang menilai perilakunya tidak pantas sebagai tokoh akademik.
Saling Lapor dan Pengusiran
Perseteruan ini berlanjut ke ranah hukum. Sahara melaporkan Yai Mim ke Polresta Malang atas dugaan pencemaran nama baik dan pelecehan seksual. Yai Mim membalas dengan laporan serupa, bahkan memperluasnya dengan menuntut lima warga, termasuk perangkat RT/RW, atas dugaan persekusi.
Pada 7 September 2025, warga Joyogrand mengadakan rapat dan mengeluarkan surat pengusiran terhadap Yai Mim dan istrinya. Mereka dituduh oversharing di grup RT, mengonsumsi minuman keras, mengumbar aurat, dan menutup akses jalan warga dengan patok.
Akibat viralnya kasus ini, mahasiswa enggan mengikuti kelas Yai Mim. Ia pun memilih mengundurkan diri dari UIN Malang untuk waktu yang tidak ditentukan. Pihak kampus membentuk Tim Penegakan Disiplin ASN dan melimpahkan kasus internal ke Inspektorat Jenderal Kemenag.
Yai Mim dan istrinya kemudian hadir di podcast Denny Sumargo untuk menjelaskan kronologi versi mereka. Pemerintah Kelurahan Merjosari berencana melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memverifikasi legalitas tanah yang dipersoalkan.
Refleksi: Ketika Etika Sosial Bertabrakan dengan Hak Pribadi
Kasus ini membuka diskusi luas tentang batas-batas etika bertetangga, penggunaan tanah wakaf, dan dampak media sosial terhadap reputasi pribadi. Di satu sisi, Yai Mim merasa haknya sebagai pemilik tanah dan warga senior tidak dihormati. Di sisi lain, Sahara menilai jalan tersebut adalah fasilitas umum yang bisa digunakan siapa saja.
Yang jelas, konflik ini menunjukkan bagaimana masalah kecil bisa membesar ketika komunikasi gagal dan media sosial menjadi senjata. Dari parkir mobil hingga tudingan cabul, dari grup RT hingga podcast nasional—semua menjadi bagian dari narasi yang kini dikonsumsi publik.
Redaksi aksikata.com akan terus mengikuti perkembangan kasus ini, sembari mengajak pembaca untuk merenungkan: bagaimana kita menjaga harmoni di lingkungan, ketika batas antara ruang privat dan publik semakin kabur?