Ritual Sakral Jejak Banon: Langkah Raja Kraton Yogyakarta dalam Rangkaian Maulud Nabi Muhammad SAW

YOGYAKARTA, AKSIKATA.COM — Dalam suasana khidmat dan penuh makna, ribuan warga memadati kompleks Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, untuk menyaksikan prosesi adat langka yang hanya digelar setiap delapan tahun sekali: Jejak Banon, bagian dari rangkaian Garebeg Maulud Dal atau Sekaten Tahun Dal dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Prosesi dimulai saat Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, melangkah menuju sisi selatan Masjid Gedhe. Di sana telah disusun tumpukan batu bata setinggi 1,5 meter, simbol benteng yang merepresentasikan jejak sejarah pendiri Kraton, Sultan HB I, yang dahulu menyelamatkan diri dari musuh selepas salat Jumat.

Dengan busana kebesaran berwarna biru, Sultan HB X menjejakkan kaki ke atas tumpukan bata tersebut. Dalam hitungan detik, tembok simbolik itu runtuh, disambut sorak-sorai warga yang telah menanti momen sakral tersebut sejak sore hari. Reruntuhan bata yang berserakan kemudian dilangkahi oleh Sultan, diikuti oleh para putri dalem dan kerabat kerajaan.

Sebelum prosesi Jejak Banon, Sultan HB X terlebih dahulu membagikan udhik-udhik—sedekah berupa beras, biji-bijian, uang logam, dan bunga—di tiga titik: Pagongan Kidul, Pagongan Lor, dan dalam Masjid Gedhe. Tradisi ini dipercaya membawa berkah bagi siapa pun yang menerimanya.

Setelah itu, Sultan duduk di tengah Saka Guru Masjid Gedhe, dikelilingi keluarga kerajaan dan abdi dalem, untuk menyimak pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW. Saat pembacaan mencapai bagian kelahiran Nabi (asrokal), Sultan menerima persembahan Sumping Melati, simbol bahwa raja senantiasa mendengar dan memenuhi aspirasi rakyatnya.

Menurut Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Kusumanegara, Koordinator Rangkaian Prosesi Garebeg Mulud Dal 1959, prosesi Jejak Banon bukan sekadar ritual simbolik, melainkan memiliki makna filosofis yang dalam.

“Jejak Banon mengenang perjuangan Pangeran Mangkubumi, pendiri Keraton Yogyakarta, yang menyelamatkan diri dari musuh selepas salat Jumat di Masjid Gedhe. Lebih dari itu, prosesi ini melambangkan semangat keberanian untuk mendobrak tatanan lama dan membuka cakrawala baru bagi masyarakat Jawa dalam menerima ajaran Islam,” jelas KRT Kusumanegara.

Ia juga menambahkan bahwa prosesi ini hanya digelar pada Tahun Dal dalam siklus penanggalan Jawa, karena dipercaya sebagai tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hal inilah yang menjadikan Jejak Banon begitu istimewa dan hanya bisa disaksikan setiap sewindu sekali

Prosesi Jejak Banon bukan sekadar ritual simbolik, tetapi juga pengingat akan nilai-nilai kepemimpinan, keberanian, dan spiritualitas yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi ini memperkuat identitas budaya Yogyakarta sebagai pusat spiritual dan kebudayaan Jawa.

Prosesi Jejak Banon menjadi penanda akhir dari rangkaian Kondur Gongso, yaitu pengembalian gamelan pusaka Kanjeng Kiai Sekati ke dalam keraton. Puncaknya adalah Garebeg Maulud, yang akan digelar keesokan harinya dengan kemunculan Gunungan Brama, simbol khusus yang hanya dikeluarkan pada Tahun Dal.

Tradisi ini memperkuat identitas budaya Yogyakarta sebagai pusat spiritual dan kebudayaan Jawa, sekaligus menjadi pengingat akan nilai-nilai kepemimpinan, keberanian, dan spiritualitas yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Dengan antusiasme warga yang luar biasa dan pelaksanaan yang penuh makna, Garebeg Maulud Dal 2025 menjadi bukti bahwa warisan budaya bukan hanya dijaga, tetapi juga dihidupi oleh masyarakat lintas generasi.