DEPOK – AKSIKATA.COM – Sebagai anak manusia, masa remaja Baas Cihno Sueko, boleh dibilang tumbuh kembang di lingkungan yang kurang menguntungan. Bahkan, keakrabannya dengan kerasnya Ibukota, membawa lelaki kelahiran 11 November 1954 ini terbiasa pada kelamnya daerah pojok Senen, di bilangan Jakarta, dan di wilayah itu Baas lahir menjadi pria setengah Jawara.
Demi alasan isi perut, dan lahir menjadi anak kedua dari 12 bersaudara, Bang Cemong, panggilan akrabnya, kerap mendatangi sejumlah toko untuk meminta jatah atas perintah salah seorang sosok jagoan yang ada di wilayah Senen, Jakarta Pusat.
Sesungguhnya, dalam bathinnya, Baas tentu tak ingin dirinya tampil menjadi “centeng”. Tapi, tak ayal, dia pun ditekan oleh keadaan. karena jika dia tidak melakukan perintah sang Jagoan, maka Baas akan tersingkir dari lingkungan, dan itu akan membuatnya menahan rasa lapar.
Bukan ingin meghalalkan segala cara. Apalagi Baas sadar jika didikan orang tuanya begitu tegas dalam urusan agama. Namun, Baas sering terjebak situasi, antara isi hati dan nalurinya sebagai kakak yang mesti turut membantu memberi nafkah ke 10 adik-adiknya.
Bahkan untuk menambal kekurangan keuangannya, Baas mengiklaskan dirinya menjadi pembersih tangkai cabai, yang kala itu hanya dihargai 25 Rupiah per kilonya.
Tentu Baas tidak sendiri, karena memang di masa itu ekonomi sedang tidak menguntungkan bagi segelintir warga terpinggirkan. Meskipun Baas lahir sebagai anak pejuang, namun namun tetap Baas mesti berjuang demi kelangsungan makan minum adik-adiknya.
Apalagi, kondisi kocek ayahnya, yang bernama Suroso Harsono, hanya seorang purnawiran TNI AD dengan pangkat Kapten dan terakhir bertugas di DITKUAD, Jakarta.
Meskipun upaya telah banyak dilakukan, namun Suroso memang saat itu tidak mampu berbuat banyak untuk keluarganya. Apalagi sebagai salah seorang pejuang, Suroso tertembak di bagian dadanya, dan itulah yang membaut Suroso tak mampu bergerak leluasa, dan itu berdampak pada Baas, yang mesti menopang lagi kehidupan adik-adiknya.
Beruntung, ketika tertembak dalam suatu operasi militer, nyawa Suroso tak direnggut maut. Dia dapat diselamatkan, dan beliau akhirnya wafat pada usia 67 tahun, dan meninggalkan anak-anak dan istri tercinta bernama Sunarni.
Sementara sebelum Suroso wafat, Baas kecil, sempat merasakan betapa susahnya menjadi anak “kolong” yang selalu berpindah tempat karena alasan tugas negara. Dan, akhirnya Baas “ikut keliling”, karena ayahnya ditugaskan pada Batalyon 431 Banteng Raiders di Semarang Jawa Tengah. Kemudian, di Yon 130 Padang Panjang, Yon 132 Bukittinggi, Yon 131 Payahkumbuh dan di Pekan Baru.
Waktu terus berjalan, Baas pun tetap ingin mengenyam pendidikan, dan selepas menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Asisten Apoteker Angkatan Darat pada tahun 1975, Baas beserta keluarga menetap di Perumnas Depok, Jawa Barat pada 1997, dan disinilah cerita cinta pada gadis pujaannya bernama Budi Agustinah, mulai bersemi.
Budi Agustinah, yang akrab di sapa Etin ini dipilih Baas, untuk menjadi teman hidupnya.
Kala itu Etin masih duduk di kelas 3 di SMP Negeri 2 Depok, dan saat itu pula bakat menari Etin, mulai terlihat. Etin, banyak dinilai oleh gurunya sebagai penari berbakat dan sering mewakili Depok dalam berbagai kegiatan kebudayaan. Bahkan dirinya Etin pernah terpilih menjadi Pelajar Teladan Tingkat Bogor, Jawa Barat pada 1977.
Baas yang dulu “terlihat sangar”, akhirnya luluh, setelah perkenalannya dengan seorang penari cantik bernama Etin, dan ternyata perjumpaannya dengan Etin, akhirnya merubah prilaku anak tentara ini. Yang awalnya keras dan “bangor” akhirnya perlahan menjadi lebih “lembut”, terutama pada wanita yang dicintainya itu.
Tanpa di sadari, Baas yang dulunya hidup di wilayah preman, kini berubah lebih mencintai kebudayaan. Pun jalinan cinta Baas dan Etin, tanpa disadari Baas menjadi cenderung menyukai dunia seni tari tradisional Indonesia, yang akhirnya membuat mereka berdua sepakat mendirikan Sanggar Tari Ayodya Pala, di Depok.
Usai menikah pada tahun 1981, dan tercatat mempunyai 3 orang anak, yang pertama Denta Mandra Pradipta Budi, Dwipa Amboro Bima C, dan Yayi Suriphity, pasangan ini sejurus membentuk Yayasan Ayodya Pala yang bergerak dalam bidang Pelestarian, Pendidikan dan Pengembangan Seni Tari Tradisional.
Dalam proses awalnya, Ayodya Pala, mulai mencari calon didik dari mulut kemulut, dan siswa yang ingin belajar menari hanya diwajibkan membayar Rp.250,-/bulan.
“Dengan biaya latihan sebesar itu untuk membeli beras sekeluarga pun tak cukup. Terlebih lagi saat istri hamil besar dan masih menempuh kuliah di Universitas Indonesia,” kenang Baas.
Karena merasa belum ada pengalaman, Baas banyak belajar cara mengelola dari sanggar-sanggar yang besar dan sudah sukses kala itu, “Saya tidak malu untuk bertanya dan tetap menjaga silaturahmi dengan mereka,” tuturnya.
Wajar akhirnya kini Ayodya Pala sudah memiliki 37 cabang yang tersebar di sejumlah daerah, dan tentunya dengan ribuan anak didik tarinya. Bahkan tak terhitung jumlah kegiatan yang diikuti Ayodya Pala, baik di dalam maupun di luar negeri.
“Banyak orang hanya melihat Ayodya Pala pada saat ini, mereka tidak tau bagaimana prosesnya hingga sampai seperti sekarang. Sebagai gambarannya, Saya dan istri pernah 7 kali tinggal dirumah kontrakan, juga pernah mengalami sehari makan sehari tidak. Pun pernah seudai pagelaran di TIM, kami menjual isi rumah sampai ludes untuk menutupi kekurangan biaya pagelaran,” tuturnya.
Namun berkat kerja keras dan keuletannya, Baas dan Etin kini mampu membawa Ayodya Pala mengharumkan nama Indonesia.