Kasus Tanah Warisan Pahlawan Nasional, Berlanjut ke Komisi Yudisial

JAKARTA, AKSIKATA.COM – Perjuangan Pratiwi Hutomo (85), putri kedua dari Pahlawan Nasional Dr. Raden Soeharto yang dikenal sebagai dokter pribadi presiden pertama Indonesia, Soekarno dan pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan, masih terlanjut. Gugat atas sebidang tanah berukuran 77 meter persegi yang terletak di Jl Percetakan Negara VI RT/RW 005/003, Rawasari, Cempaka Putih, telah kandas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dan Pengadilan Tinggi.

Merasa ada yang janggal terhadap putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang mengalahkan gugatannya, padahal secara administrasi dan legalitas kepemilikan atas tanah itu berada padanya, Pratiwi yang diwakili kuasa hukumnya Dr. (Can) Muhammad Ridho Hakiki, S.H.., M.H. bersama Henry Apriyando, S.H., M.H., dan Mochamad Taufiqurrohman, S.H. melaporkan ke Komisi Yudisial (KY), Rabu (12/9/2024).

Ia meyakini ada pelanggaran kode etik hakim pada putusan PN Jakarta Pusat dan PT yang memberikan putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).

“Jelas Badan Pertanahan Nasional (BPN) berdasarkan Surat Pengukuran Untuk Informasi Luas dan Status Tanah No.1092/3- 31.71- 200/VI/2010 tertanggal 6 Juni 2010, juga sudah menyatakan tanah tersebut milik Dr Raden Soeharto,” katanya. Apalagi, sambungnya, para tergugat tidak bisa membuktikan surat kepemilikan tanah yang sah.

Sementara Komisi Yudisial sudah melakukan registrasi, yang kemudian akan dilakukan verifikasi terhadap perkara gugatan Pratiwi. Nantinya akan dilihat apakah ada pelanggaran kode etik hakim atau tidak. Pihaknya,  saat ini hanya bisa menunggu waktu pengusutan dari KY terkait hasil verifikasi berkas itu.

Namun, upaya hukum tetap berlanjut, Pratiwi mengajukan kasasi ke tingkat Mahkamah Agung (MA) untuk mencari keadilan.  “Kami tunggu saja hasil verifikasi berkas dari KY. Kami berharap kasus ini bisa diperhatikan oleh KY,” ucapnya.

Baca Juga  :  https://aksikata.com/2024/08/28/keluarga-dokter-pribadi-mendiang-presiden-soekarno-gugat-sebidang-tanah/

Ridho menjelaskan, dahulu, tanah tersebut merupakan bagian dari tanah yang lebih luas, yakni 1.160 meter persegi, namun menyusut akibat proyek pembangunan Jalan MH Thamrin pada masa Gubernur Ali Sadikin. Kini, tanah tersebut telah dikuasai pihak lain dan dibangun menjadi dua gubuk kecil yang digunakan sebagai warung.

Pratiwi Hutomo (tengah)
Pratiwi Hutomo (tengah) didamping kuasa hukumnya

Diakui Pratiwi, perjuangannya ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga demi menjaga warisan dan kehormatan orangtuanya. Ia berencana menyerahkan tanah tersebut kepada masyarakat setempat untuk digunakan sebagai Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), agar bisa dimanfaatkan untuk kegiatan sosial yang membawa manfaat bagi warga sekitar. Untuk memperkuat niat baiknya, dia sudah mendaftarkan ke notaris.

“Saya berjuang karena tanah itu merupakan tanah warisan orang tua. Rencananya, tanah itu akan saya gunakan untuk kegiatan sosial warga di sini supaya pahalanya mengalir terus ke orang tua saya. Tanah itu akan jadi aset warga. Warga sini juga tahu kalau tanah itu milik ayah saya,” ujar Pratiwi, beberapa Waktu lalu.

Selama 16 tahun, Pratiwi telah berjuang mencari keadilan untuk mendapatkan sebidang tanah warisan keluarganya kembali. Pratiwi berharap ada perhatian ari pemerintah karena bapaknya pernah menjabat sebagai petinggi negara, bahkan telah iberkan gelar pahlawan nasional di tahun 2022 oleh negara. Pratiwi pun berharap bisa bertemu dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Menteri ATR/Kepala BPN guna menyelesaikan tanah tersebut.

Ridho yakin AHY dapat memberikan solusi atas sengketa yang sudah berlangsung lama ini. “Saya percaya AHY sebagai Menteri BPN bisa membantu dalam menyelesaikan masalah ini. Apalagi ini melibatkan keluarga Pahlawan Nasional,” ujar Ridho.

Diketahui, perjuangan Pratiwi dimulai setelah ia menemukan dokumen-dokumen milik ayahnya yang meninggal pada 30 November 2000. Dalam dokumen tersebut, Dr. Raden Soeharto menghibahkan tanah itu kepada anak pertamanya, Semiarto Suharto melalui Akta Hibah tertanggal 14 Agustus 1971 sesuai Surat No 1024/11-31.300/IV/2015 . Namun, Pratiwi baru menyadari bahwa tanah tersebut telah diklaim oleh pihak lain saat membuka dokumen tersebut.

Kini, Pratiwi bersama kuasa hukumnya, Dr. Muhammad Ridho Hakiki, S.H. M.H.sudah mengajukan pengaduan ke Komisi Yudisial (KY) untuk mengusut tuntas kasus ini.

“Supaya kasus ini menjadi terang benderang, dan Ibu Pratiwi kembali memperoleh haknya,” tegas Ridho.