JAKARTA, AKSIKATA.COM – Gerakan Revolusi Mental Berbasis Literasi (Germenbali Alfateta) yang bekerjasama dengan Berlian Psikologi, dapat memastikan kecepatan membaca mayoritas siswa SMA di seluruh Indonesia setara kecepatan baca siswa SD.
Alfateta mengambil salah satu sampel, SMA Caringin 1 Bogor, dari 320 siswa SMA yang diases pada 24 Agustus 2024, disimpulkan 75% skornya < 200 KPM atau kata per menit (setara SD), 13% bahkan < 100 KPM atau setara kelas 3 SD. Hanya 12%, setara SMP. Tidak ada 1 siswa pun setara SMA.
Menurut Ketua Germenbali Alfateta, Bambang Prakuso, Kecepatan membaca yang rendah merupakan indikator minat baca, kegemaran membaca, dan budaya literasi yang rendah.
Disinyalir rendahnya skor PISA (Program for International Student Assesment) serta mutu Pendidikan kita rendah karena banyak siswa tidak tahu cara membaca yang benar, efektif, dan efisien.
“Kebijakan pemerintah yang berbasis proyek adalah penyebabnya. Kita terus memperbanyak buku dan perpustakaan sampai ke desa, tapi kita lupa mengajarkan cara membaca yang benar, efektif, dan efisien. Terbukti, walaupun kita pemilik perpustakaan nomor 2 terbanyak di dunia, namun kita negara paling malas baca di dunia karena kecepatan bacanya sangat rendah,” kata Bambang.
Selain itu, Germenbali Alfateta, menemukan fakta 95% siswa dan guru tidak membaca 1 buku pun setahun, kecuali buku pelajaran. Bahkan ditemukan fakta, beberapa pustakawan mengaku tidak membaca 1 buku pun per tahun. Mengapa hal ini terjadi? Menurut Bambang Prakuso yang pengajar SSRA (Super Speed Reading Alfateta), karena sejak SD kita tidak diajarkan bagaimana cara membaca cepat benar dan efektif. Berbeda dengan China dan negara lain, membaca adalah wajib, bukan mubah seperti di Indonesia.
“Sejak kecil siswa sudah diwajibkan baca dan bahkan China dan AS mengajarkan metode Cunkin (photo reading) yakni kemampuan membaca 1 detik 2 halaman. Hasilnya China memiliki kemampuan baca rata-rata 550 KPM, sedangkan Indonesia hanya 200 KPM, Bahkan banyak guru yang di bawah 200 kpm, artinya kecepatan membaca mereka setara lulusan SD.
Jika guru saja kecepatan membacanya setera SD atau SMP, bagaimana mereka bisa mengajarkan baca yang benar pada siswa? Gadget telah menggerus minat, kegemaran membaca, budaya literasi, minat menulis dan mutu pendidikan.
Apalagi setelah adanya AI (artificial intelligence) dan chatGPT, siswa merasa tidak penting punya kemampuan membaca dan menulis, karena semua bisa digantikan oleh chatGPT. Pemerintah harus cepat berubah dengan mempersiapkan perpustakaan digital, karena sebentar lagi e-book dan ecourse akan menggantikan buku dan kursus kursus. “Saat ini Indonesia negara paling malas membaca di dunia, karena pem
Pemerintah lebih focus pada proyek pengadaan buku daripada mengajarkan cara membaca cepat, benar, dan efektif. Akibatnya kita pemilik perpustakaan terbanyak no. 2 di dunia, tapi minat baca dan budaya literasi bahkan mutu pendidikannya terendah di dunia,” ujarnya.
Pemerintah harus segera melakukan assessment pada kecepatan membaca dan jumlah buku yang dibaca. Wajib membaca, kompetisi, pengetahuan membaca yang cepat benar dan efektif, serta komitmen guru sangat penting agar di tengah dunia digital saat ini, siswa mampu menyerap informasi secepat dan sebaganyak mungkin.
Kunci mengapa Thailand, China, India, Nepal, Turki, Pakistan, Eropa dan AS tetap mampu meningkatkan minat dan kecepatan membacanya adalah, karena sejak dini mereka diwajibkan baca dan diajarkan cara membaca cepat, benar, dan efektif. demikian Bambang Prakuso.