BEKASI, AKSI KATA. COM – Pemilihan Umum 2024 yang akan digelar pada Februari dalam hitungan hari. Tahapan Pemilu sedang berjalan. Sejumlah calon legislatif (Caleg) peserta pemilu pun bergerilya untuk mendulang suara. Isu semacam Pemilu aman tanpa politisasi agama dan money politics pun ramai jadi perbincangan di tengah masyarakat.
Benarkah, Pemilu bakal dapat berlangsung aman tanpa politik identitas dan politik uang? Kekhawatiran semacam ini dibuka ke publik. Sebuah diskusi publik dilakukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Bekasi bersama sejumlah pengurus parpol, pelaksana pemilu (KPU) dan perwakilan Ormas, Sabtu (22/7/2023) di Pondok Melati, Bekasi.
Hadir dalam dialog terbuka itu, Camat Pondok Melati Heni Setiowati, Komisioner KPU Kota Bekasi Ali Syaefa, Ketua KNPI Pondok Melati Mustofa, Sekretaris KNPI Pondok Melati Daeng Wijaya, perwakilan Ormas Pemuda Forkabi, Pemuda Pancasila (PP) serta Pemuda-Pemudi Nahdlatul Ulama (NU). Dari perwakilan Parpol, hadir Syamsuddin HS (Wakil Ketua DPC PPP Kota Bekasi), Ahmadi Madong (DPC PKB Kota Bekasi), Heri Purnomo (Fraksi PDIP DPRD Kota Bekasi), Awing Asmawi (Partai Demokrat), Berry Tommy Talumepa (PK Partai Golkar Pondok Melati), Mursali (PAN Kota Bekasi) dan Sodikin (Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Bekasi).
Salah satu pembicara, Syamsuddin HS, menyikapi respons isu wanipiro dan politik identitas dalam kontestasi Pemilu 2024, sebagai mentalitas dan mindset yang harus dibuang jauh-jauh dalam kontestasi demokrasi 5 tahunan. Menurutnya, masyarakat harus dicerdaskan, diberdayakan, bukan dimanipulasi dengan politisasi dan kapitalisasi agama. Kerja-kerja politik adalah kerja mulia, sangat positif bahkan bernilai jihad dalam agama.
” Politik bukan masalah kekuasaan dan prestisius jabatan atau kelimpahan materi. “Politik adalah kerja-kerja legislasi, merancang program-program pragmatis, riil untuk edukasi dan social empowering, penyediaan lapangan kerja, pelatihan skill, pendampingan kaum marjinal, dhuafa, difable, nasib kaum perempuan, memberantas kemiskinan dan kebodohan di tengah masyarakat,” beber pria pengasuh pesantren di Pondok Melati itu.
Karena itu, imbuhnya, para politisi justru harus berani mengubah mindset masyarakat tentang wanipiro, mentalitas Caleg konvensional yang memamfaatkan isu agama dan primordial. “Intinya, Caleg maupun politisi harus mencerdaskan masyarakat dengan berbagai program edukasi, social empowering dll. Bukan memanipulasi masyarakat dengan membeli suaranya dan menjadi tiket untuk bisa duduk di kursi legislatif parlemen,” tandasnya.