JAKARTA, AKSIKATA.COM – PROPOSAL yang digagas Budiman Sudjatmiko yang kemudian dibawa ke Kertanegara 4 tentang Persatuan Nasional bukanlah hal yang tabu.
Pernah dilakukan oleh Tan Malaka tahun 1946 dalam bentuk Front Persatuan yang terdiri dari 141 organisasi. Dengan tujuan agar Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100%.
Sebelumnya tanggal 19 Maret 1939, MH. Thamrin dan Amir Syarifuddin pernah membentuk GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) yang terdiri dari Gerindo, Perindra, Partai Pasundan , Persatuan Minahasa, PSII dan Persatuan Partai Katholik.
GAPPI bertujuan untuk menyatukan partai politik dalam perjuangan kedaulatan pemerintahan Indonesia, demokratisasi pemerintahan Indonesia dan mencegah konflik antar partai politik dalam melakukan perjuangan kemerdekaan.
Persatuan Nasional yang digagas Budiman bertujuan untuk keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Ada yang salah? Salah bagi para polisi moral yang kehilangan orientasi politik dan menganggap Kertanegara 4 tempat yang tabu untuk dikunjungi mengingat Prabowo Subianto dianggap sebagai musuh, karena saat memimpin Kopassus menggerakan Tim Mawar untuk melakukan penculikan aktivis 98.
Penculik itu pernah mendapatkan legitimasi moral dari PDIP saat menjadi Cawapres berpasangan dengan Megawati tahun 2009.
Legitimasi moralnya semakin menguat saat dilantik menjadi Menhan oleh Presiden Jokowi. Memang ada penolakan Prabowo masuk kabinet. Tapi polisi moral hanya bisa menolak, Jokowi jalan terus dan Prabowo tetap jadi Menhan sampai sekarang.
Kondisinya mirip dengan yang dialami Budiman. Polisi moral hanya bisa caci maki atas nama korban penculikan, merawat dendam tak sudah.
Polisi moral seperti tumpukan timun yang bengkok. Masuk rombongan tapi tidak masuk hitungan! karena pembeli akan menolak jika diberi timun yang bengkok oleh pedagang dipasar.
Kementerian Pertahanan seperti dimanja oleh Presiden Jokowi.
Pos anggarannya terbesar dibanding kementerian lain. Hal yang tak lazim dilakukan mengingat Presiden Jokowi adalah petugas partai merah. Jokowi sedang membangun keseimbangan politik dan hanya Budiman yang bisa membaca, menterjemahkan lalu mengoperasionalisasikannya menjadi tugas suci untuk diimplementasikan dalam bentuk Persatuan Nasional.
Penculik bisa menjadi Ketum Gerindra, bisa menjadi Cawapres, lalu jadi Capres 2 kali, kemudian menjadi Menteri bahkan sebentar lagi menjadi Presiden.
Kenapa tidak dibolehkan membangun Persatuan Nasional? Budiman sudah menggelar karpet merah bagi Persatuan Nasional.
Bahkan secara patriotik dari Kertanegara 4 dia mengatakan akan mewakafkan hidupnya dalam arti jika Proposal ini disetujui maka rakyat akan menikmati hasilnya, sementara jika gagal maka Budiman sendiri yang akan menanggung segala konsekuensinya.
Sebagai patriot tentu Budiman juga mengerti bahwa sepasang tangan yang diulurkan saat berjuang akan lebih bermakna ketimbang seribu tangan yang diulurkan saat mencapai tujuan.
Dalam politik, jangankan bekerjasama dengan penculik. Bekerjasama dengan setan sekalipun menjadi sah sepanjang kita bisa memastikan menipu setan itu (Karl Marx).
Tindakan politik Budiman seperti mengulang sejarah saat Soekarno Hatta dari golongan nasionalis, Ki Hadjar Dewantara dan KH. Mas Mansyur dari kelompok Islam menjadi kolaborator Jepang dengan memimpin Putera (Pusat Tenaga Rakyat) organ bentukan Jepang yang bediri 16 April 1943.
Lalu dibubarkan Jepang bulan Maret 1944 karena Jepang menyadari bahwa Putera lebih banyak menguntungkan pergerakan nasional dibandingkan kepentingan Jepang sendiri. Walau hanya setahun gerakan Putera ini berhasil mempersiapkan mental rakyat untuk menyambut kemerdekaan tahun berikutnya.
Front Persatuan
Menurut sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam makna Front Persatuan adalah ikatan yang longgar dan bersifat temporer dari berbagai organisasi untuk mencapai tujuan tertentu.
Unsur- unsur front persatuan dapat dibentuk dengan menggabungkan kekuatan buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota, mahasiswa dan tentara.
Sebelum Tahun 1965 PKI dan partai lain bekerja juga ke instansi tentara atau dengan kata lain mempengaruhi, menggarap dan membina mereka (Pembebasan edisi X tahun III Maret 2004).
Jika yang dilakukan PKI sebelum 1965 dilakukan secara tertutup maka Budiman melakukannya dengan cara terbuka, terlepas dari respon Prabowo yang menyambutnya dengan kekuatan penuh Partai Gerindra dengan dihadiri Sekjend Gerindra dan Hasyim Djojohadikusumo, adik kesayangannya.
Melihat suasana pertemuan dimana Budiman disambut seperti tamu agung mengindikasikan Proposal diterima tanpa syarat.
Dengan mengajak Prabowo membangun Front Persatuan maka unsur-unsur Front Persatuan seperti yang dikatakan Asvi sudah terwakili.
Semua unsur-unsur itu sudah digarap oleh Partai Gerindra. Pada titik ini secara pribadi saya melihat Budiman tidak berubah, tetap beriman pada teori. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
Tidak pernah ada hasil perjuangan yang signifikan dari perjuangan rakyat tanpa adanya front persatuan. Fragmentasi hanya akan menghambat perjuangan.
Politik front persatuan harus menyandarkan kekuatan pokoknya pada rakyat melalui unsur-unsur progresif di dalam Front
Selain Front Persatuan, Budiman juga menginginkan kerjasama antara aktivis dan intelijen. Sebab hanya aktivis dan intelijen yang bisa merumuskan strategi secara komprehensif. Statemen ini sangat berbahaya jika keluar era tahun 90 an.
Budiman bisa di mutilasi hidup-hidup oleh Ida Nasim MH, Sekjen Kepal PRD yang pernah ditangkap dan disiksa intelijen bersama Kamaludin Pane yang sekarang sudah menjadi lawyer papan atas.
Pernyataan Budiman tersebut dapat dimaknai sebagai pesan untuk Prabowo agar dalam memilih Cawapres sebaiknya dari kalangan aktivis. Jika Prabowo berminat pada Budiman harus bicara pada Ibu Mega, Mbak Puan dan Mas Hasto.
Prinsipnya Cawapres harus dari kalangan aktivis 98 agar legitimasi moral Prabowo semakin kuat. Jangan dari kalangan pengusaha karena pasti bikin recok dengan berdagang kebijakan.
Pengusaha tahu cara mendapatkan uang tapi tidak tahu cara mendapatkan kemenangan. Semua tergantung Prabowo, mau dapat uang atau dapat menang.
Sudah banyak politisi yang berlatar belakang pengusaha ditangkap KPK. Tapi tidak satupun aktivis 98 yang menjadi politisi dan pernah membangun gerakan ditangkap karena korupsi.
Bukan karena aktivis 98 lebih bersih dari pengusaha. Lebih karena semua aktivis 98 pernah dididik oleh situasi dimana harus hidup luntang lantung di Jakarta dengan perut lapar, pindah dari Kopaja satu ke Kopaja lainnya sambil bernyanyi atau baca puisi, energi yang didapat berasal dari sayur gori dan tempe mendoan dari warteg hari sebelumnya.
Pengalaman itulah yang mengajarkan aktivis 98 tetap bisa hidup diatas batu cadas yang jauh dari sumber mata air yang selalu basah. Semakin lapar menjadi semakin radikal doktrinnya.
*Penulis Dr. Maruly Hendra Utama, Dosen Pascasarjana Universitas Pasundan, Dewan Pakar SMSI – Serikat Media Siber Indonesia