Penulis Iskhak Muin, S.Pd.,M.M.,CM (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen
Universitas Negeri Jakarta)
Belum lama tagar ”Cawe-Cawe” trending di media sosial Twitter usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan secara blak-blakan akan cawe-cawe dalam proses pemilu 2024 demi bangsa dan negara tentunya dalam arti yang positif. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Jokowi saat berjumpa dengan para pemimpin redaksi sejumlah media dan content creator di Istana Negara, Senin 29 Mei 2023.(dikutip dari detikNews).
Dalam kesempatan berikutnya Presiden Jokowi dalam sambutannya pada acara peluncuran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) di Jakarta Theatre, Jakarta Pusat, Kamis (15/06/2023) mengatakan bahwa kepemimpinan itu ibarat kompas estafet, bukan meteran pom bensin yang setiap kali selesai kemudian dimulai lagi dari nol jadinya maju mundur kaya poco-poco.
Jokowi kemudian menegaskan pentingnya keberlanjutan dalam kepemimpinan sangat penting untuk mencapai dan mewujudkan visi dan mimpi besar Indonesia Emas 2045.
Peran kepemimpinan sangat penting dan pengaruhnya tidak terbantahkan terhadap dinamika maju mundurnya, setabil atau tidak setabilnya, berhasil atau tidak berhasilnya pencapaian tujuan strategis suatu kelompok atau organisasi mulai dari kelompok terkecil yaitu keluarga sampai kepada organisasi bisnis, lembaga pemerintah dari tingkat desa sampai dengan tingkat nasional bahkan sampai kepada lembaga-lembaga internasional.
Kepemimpinan sangat dan kompleks serta luas dan multi-dimensi dan dalam penerapannya memerlukan pendekatan atau gaya kepemimpinan (leadership style) yang berbeda-beda. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang pemimpin sangat berpengaruh dan perlu disesuaikan dengan jenis atau ukuran dari kelompok, organisasi atau lembaga yang dipimpinnya.
Gaya kepemimpinanpun terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman yang terus berubah mulai dari Otocratic Leadership dimana wewenang berpusat kepada pemimpin itu sendiri; Democratic Leadership yang melibatkan anggota tim; Delegative Leadership atau Laissez-Faire dimana pemimpin mendelegasikan kewenangan kepada pengikutnya; Transactional Leadership Style yang berorientasi kepada rewards and punishment; Transformational Leadership dengan cara menginspirasi atau mempengaruhi bawahan untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan yang diinginkannya; Situational Leadership dengan menggunakan pendekatan yang disesuaikan dengan tingkat pengetahuan/keterampilan dan motivasi/komitmen dari bawahan yang dipimpinnya, dan gaya-gaya kepemimpinan lainnya yang terus berkembang mengacu kepada perkembangan teori kepemimpinan seusai dengan tuntutan perubahan konsep ruang dan waktu.
Di era yang tidak stabil berubah sangat cepat, serba tidak pasti, bersifat kompleks dan ambigu (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity = VUCA) sebagai dampak perkembangan teknologi digital yang begitu cepat membutuhkan karakteristik pemimpin yang berbeda dimana keterampilan dan kemampuan pemimpin yang diperlukan untuk membantu organisasi/lembaga berkembang yang ada tidak lagi memadai.
Seorang pemimpin hari ini dituntut untuk mampu berpikir kritis dan strategis (Strategic Leadership) guna merespons perubahan yang kompleks dan dinamis disamping harus memiliki serangkaian competency dan capability dalam digitalizatiion, innovation, adaptation dan agility untuk memastikan organisasi/lembaga yang dipimpinnya mampu bertahan dan tetap relevan dalam persaingan global.
Saat ini kita hidup dalam era dimana terdapat Classes of Generations mulai dari generasi Baby Boomers (lahir: 1946-1964); Generation X (lahir: 1965-1980); Millenials ( lahir: 1981-1996); Generation Z ( lahir: 1997-2010); dan Generation Alpha (lahir setelah tahun 2000) dimana masing-masing kelompok generasi mempunyai karakteristik kepribadian, nilai-nilai, orientasi, kemampuan dan cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu hal, maka seorang pemimpin dituntut untuk mampu menerapkan pendekatan atau gaya kepemimpinan modern yang efektif sehingga masing-masing kelompok generasi dapat diberdayakan sesuai dengan keunggulan karakteristik dan nilai-nilai masing-masing sehingga dapat mampu mengembangkan kolaborasi yang sangat baik.
Merespon class of generations ini, Ahn & Ettner (2014) dari Willamette University, USA dari hasil penelitiannya merekomendasikan kepemimpinan berbasis value (Values-Based Leadership) meliputi nilai-nilai integritas, penilaian yang baik, kepemimpinan dengan teladan, pengambilan keputusan yang cepat, kepercayaan, keadilan, kerendahan hati, dan mempunyai rasa urgensi yang tinggi.
Di bidang politik, kebutuhan karakteristik kepemimpinan pun berubah seiring dengan pengaruh globalisasi, pemanasan global, isu-isu krisis pangan dan energi, dan dampak konflik peperangan yang terjadi serta meningkatnya kebutuhan pembangunan berkelanjutan sehingga situasi dan kondisi lingkungan dan permasalahan yang dihadapi menjadi semakin kompleks, maka dibutuhkan kepemimpinan politik yang bukan hanya demokratik (Democratic Leadership) melainkan harus interaktif (Interactive Leadership).
Kepemimpinan interaktif merupakan jalan keluar dari kebuntuan ini dengan mengeksplorasi dan mengeksploitasi lonjakan-lonjakan baru dalam bentuk tata kelola interaktif dan mendorong munculnya warga negara yang lebih aktif, berdaya, dan asertif, sumber daya aktif, politisi terpilih perlu mendefinisikan masalah kebijakan yang mendesak dan merancang serta menerapkan solusi kebijakan baru yang inovatif dan efektif.
Sorensen, Eva, Torfing, dan Yakub (2019) mencotohkan upaya pembentukan praktik kepemimpinan politik interaktif pada pemerintah kota Gentofte di Denmark dimana untuk memperkuat kepemimpinan politik lokal dibentuklah sebuah anggota dewan lokal yang berbagi kekuasaan antara legislatif dan eksekutif dengan walikota terpilih. Walikota memiliki tanggung jawab khusus untuk memantau pelaksanaan keputusan politik administrasi, sedangkan anggota dewan terpilih menyiapkan keputusan -keputusan dewan dan mengawasi pelaksanaannya.
Tujuan reformasi kelembagaan yang dilakukan adalah untuk meningkatkan keterlibatan anggota dewan lokal dalam pengembangan kebijakan lintas batas sambil memfasilitasi dialog yang lebih dekat dengan warga dan tokoh masyarakat (Dewan Kota, 2015). Kota Gentofte selanjutnya menjadi pelopor utama untuk memfasilitasi kepemimpinan politik interaktif bagi 24 kotamadya lainnya di Denmark yang telah mereformasi institusi politik demokratis mereka.
Mengacu kepada kondisi diatas, kepemimpinan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dari waktu ke waktu, dan dari satu budaya ke budaya lain dan juga dalam konteks yang berbeda-beda. Dari perspektif historis dan filosofis, kepemimpinan merupakan proses evolusi yang berkelanjutan dikarenakan kepemimpinan merupakan konstruksi sosial dan budaya oleh karenanya bersifat kompleks dan multidimensi sehingga dalam penerapannya tidak jarang menimbulkan masalah dan kesulitan. Setiap generasi masyarakat yang baru akan terus memperbarui dan melahirkan bentuk kepemimpinan baru yang sesuai dengan kondisi zamannya.
Strategi dan pendekatan kepemimpinan yang efektif di suatu negara belum tentu akan efektif di negara lain dengan karakteristik budaya yang berbeda. Namun, seberapa rumit dan kompleksnya suatu kepemimpinan, pada intinya, kepemimpinan adalah tentang pelayanan, kata kunci “pelayanan” (sevice) menempati urutan teratas dalam kepemimpinan melampaui definisi atau konsep kepemimpinan apa pun dan pendekatan kepemimpinan pelayanan ini tentunya sangat relevan terutama dalam konteks kepemimpinan politik nasional seperti Presiden, Menteri, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau pimpinan-pimpinan nasional lainnya dalam suatu negara.
Lalu, apakah sebuah pendekatan atau gaya kepemimpinan harus dilanjutkan oleh pemimpin baru yang akan menggantikan seorang pemimpin sebelumnya sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa kepemimpinan itu bersifat estafet dan bukan seperti pom bensin dimana pemimpin baru akan memulai dari nol ? dan apakah seorang pemimpin politik nasional yang masa jabatnnya akan segera berakhir harus cawe-cawe di dalam proses suksesi kepemimpinan nasional berikutnya?
Barangkali yang dimaksudkan oleh Bapak Presiden Jokowi adalah bukan ansih atau semata-mata model pendekatan gaya kepemimpinan yang digunakan oleh Jokowi melainkan menekankan pentingnya pemimpin baru yang akan menggantikan untuk tetap dan terus melanjutkan dan mengembangkan program-program strategis nasional sehingga mampu mewujudkan visi dan mimpi besar Indonesia Emas 2045 sehingga harus Presiden Jokowi merasa perlunya cawe-cawe di dalam proses suksesi kepemimpinan nasional tahun 2024 yang akan datang. Cawe-cawe dalam proses suksesi kepemimpinan tidak berarti semata-mata mengintervensi proses suksesi yang kemudian melanggar peraturan perundangan yang berlaku, melainkan dengan cara-cara yang efektif, strategis, professional dan elegan.
Keberlanjutan suatu program strategis bagi suatu organisasi, lembaga atau negara yang telah diinisiasi oleh pemimpin sebelumnya sangatlah penting untuk dituntaskan oleh pemimpin baru yang menggantikan sesuai dengan target-target yang telah ditentukan dan bila perlu terus dikembangkan, jika tidak maka program pembangunan suatu bangsa akan berjalan dengan lambat dan sulit untuk mencapai tujuan strategis jangka panjang yang telah ditetapkan dan dicita-citakan.
Dari sisi ilmu manajemen, untuk memastikan ketuntasan dan keberlanjutan serta pengembangan suatu program kerja menuntut adanya proses suksesi kepemimpinan (Succession Planning) yang efektif dimulai dari proses seleksi kriteria sosok seorang pemimpin pengganti yang tepat sampai dengan program pengembangan kompetensi kepemimpinan melalui program pendidikan dan pelatihan, coaching, counselling, dan mentoring.
Di samping proses suksesi yang efektif dan pengembangan kompetensi calon pemimpin, sebuah organisasi, lembaga bahkan sebuah negara juga dituntut untuk mampu menerapkan knowledge management system yang baik dan efisien dimana mekanisme organisasi, lembaga atau suatu negara harus terus menerus mendorong perolehan, penyimpanan, perlindungan, dan berbagi pengetahuan (Lin, 2013). Menurut Gold, Malhotra dan Segars (2001), yang termasuk di dalam manajemen pengetahuan adalah sistim dan kapabilitas infrastruktur dan proses dari manajemen pengetahuan.
Dengan demikian menerapkan proses suksesi kepemimpinan dan manajemen pengetahuan yang efektif sangat perlu dilakukan oleh seorang pemimpin yang akan segera mengakhiri jabatannya bahkan jauh sebelum itu untuk memastikan adanya estafet proses merealisasikan rencana kerja jangka panjang yang ditetapkan.