JAKARTA, AKSIKATA.COM – Kecurangan dalam tahapan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) yang semakin masif menjelang pemilu 2024 semakin merosotkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Hal ini disebut Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan topik “Menakar Kecurangan Pemilu 2024” di Jakarta, Jumat (9/6/2023) malam.
Menurut Ray, adanya kecurangan dalam proses pemilu setidaknya bisa dilihat dari tiga aspek.
Pertama penyelenggaranya tidak independen, pemerintah yang tidak netral dan pesertanya yang menggunakan segala cara untuk meraup suara, termasuk di dalamnya melakukan praktik manipulasi, intimidasi maupun politik uang.
“Presiden sebagai kepala negara seharusnya tidak boleh menunjukkan sikap berpihak kepada siapapun, karena dia memiliki instrumen kekuasaan,” ujarnya.
Ray juga menyoroti para penyelenggara pemilu yang tidak memiliki sikap independen dan cenderung tunduk terhadap partai politik melalui Komisi II DPR RI.
“Kalau ada istilah petugas partai, ini penyelenggara pemilu adalah petugas Komisi II,” ucapnya.
Ray juga menyoroti terkait rencana penghapusan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye yang akan dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menurutnya, hal itu akan mempersulit pengawasan dan pengawalan terhadap dana yang masuk ke partai politik.
Padahal, sumbangan dana kampanye adalah hulu dari persoalan politik uang.
“Padahal ketentuan ini sudah berlaku dua kali dalam pemilu. Ini jelas merugikan kita,” tukasnya.
Senada dengan Ray, aktivis 98 yang juga Dosen Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, mengatakan hal sama.
Bahwa legitimasi penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) 2024 mendatang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena banyaknya kecurangan dalam setiap tahapan pelaksanaannya.
Ia menilai, pelaksanaan pemilu sejak awal sudah bermasalah dan cacat moral karena adanya intervensi dari kekuasaan.
“Pemilu dari awal sudah bermasalah, penyelenggaraannya dari awal cacat moral,” ujar Ubedilah atau Ubed.
Apalagi, lanjut Ubed, pada tahun 2023 ini setidaknya 170 daerah yang akan diisi oleh penjabat kepala daerah.
Menurutnya, para penjabat kepala daerah tersebut merupakan bagian dan instrumen dari kekuasan yang berpeluang mempengaruhi proses pemilu.
“Bagaimana kita bisa percaya bahwa instrument kekuasaan tidak mempengaruhi proses pemilu?” ujarnya.***