Pahami Persoalan Anak-anak Miskin untuk Tingkatkan Akses Pendidikannya

JAKARTA, AKSIKATA.COM – Akses terhadap pendidikan berkualitas, mulai dari jenjang pendidikan usia dini sampai usia sekolah, masih menjadi persoalan yang “persisten” di Indonesia. Hasil Kajian Asa Dewantara menunjukkan masih banyak anak-anak Indonesia, khususnya yang tinggal di pedesaan dan wilayah luar pulau jawa,yang belum mendapatkan hak dasar tersebut karena kesenjangan atau ketidakmerataan akses pendidikan.

“Masalah ini perlu diatasi melalui pendekatan sistemik dengan memahami beragam persoalan yang dihadapi anak-anak miskin dalam mengakses pendidikan agar solusinya bisa dirumuskan secara tepat,” kata Dr. Abdul Malik Gismar, Direktur Eksekutif Asa Dewantara.

Asa Dewantara merupakan lembaga independen nirlaba yang didedikasikan untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas melalui kajian/penelitian, advokasi kebijakan, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan, serta pengembangan kemitraan lintas sektor. Lembaga ini pada akhir tahun 2022 melakukan kajian terhadap beragam persoalan pendidikan yang dihadapi anak-anak miskin dengan mengolah dan menganalisis laporan survey nasional, yakni Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Tahun 2021, Potensi Desa Tahun 2021, Neraca Pendidikan Daerah Tahun 2021 dan laporan lainnya.

Malik menyatakan, jika dilihat dari katagori status ekonominya, tingkat pendidikan tertinggi yang bisa ditamatkan oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas di kelompok “Paling Miskin” (kuintil 1) dan “Rentan Miskin” (kuintil 2) yang menjadi fokus kajian ini adalah SD. Prosentase penduduk berusia 15 tahun ke atas di dua kelompok ini makin rendah di jenjang pendidikan SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.

Artinya, banyak anak-anak miskin yang berguguran dan tidak bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya setelah lulus SD. “Bahkan, bisa dikatakan hampir tidak ada kelompok “Paling Miskin” yang bisa menamatkan perguruan tinggi karena prosentasenya hanya 3,02, sementara kelompok “Rentan Miskin” hanya 4,74%. Kesenjangan ini terlihat manakala kita membandingkam dengan kelompok “Paling Kaya” yang prosentasenya mencapai 24,31%.” katanya.

Peneliti senior dan analis kenijakan publik ini menyatakan bahwa persoalan kesenjangan akses pendidikan sudah ditemukan pada jenjang pendidikan anak usia dini (0 – 6 tahun). Hasil kajian Asa Dewantara menunjukkan bahwa 14,94% (12.560) desa di Indonesia tidak memiliki akses ke semua jenis PAUD (PAUD, TK, RA/BA). Pada tahun 2021, hanya 40,17% (7.62 juta) dari total anak berusia 3 – 6 tahun yang terdaftar di PAUD. Dari 59,83% (11.35 juta) anak-anak yang tidak terdaftar di PAUD tersebut, 57,5% diantaranya tinggal di perdesaan.

Selain persoalan tersebut, beberapa persoalan terkait kesehatan juga berkontribusi terhadap perkembangan dan keberlanjutan pendidikan anak- anak, yakni bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) dan gizi buruk yang ditandai dengan Kwashiorkor (kekurangan/ketiadaan asupan protein) dan Marasmus (kekurangan asupan energi dan protein). Kesenjangan juga terjadi di jenjang anak usia sekolah (7-18 tahun).

Meski pemerintah telah menggalakkan program Wajib Belajar dan Sekolah Gratis, sekitar 8,16% (2.11 juta) dari total anak berusia 7-12 tahun di Indonesia tidak terdaftar di jenjang sekolah dasar (SD), di mana 55,22% diantaranya tinggal di daerah perdesaan.

Rendahnya angka partisipasi sekolah ini juga terlihat di usia13 -15 (SMP) dan usia 16-18 (SMA). Sekitar 24,4% (3.35 juta) dari total anak berusia 13-15 tahun tidak terdaftar di SMP dan 55,96% diantaranya tinggal di perdesaan. Di jenjang SMA, Sekitar 31,32% (4.17 juta) dari total penduduk usia 16-18 tahun tidak bersekolah di SMA, 54,19% diantaranya tinggal dipedesaan.

“Angka-angka ini menunjukkan kesenjangan pendidikan di wilayah pedesaan yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah, pemda dan stakeholder pendidikan lainnya,” kata Malik.

Lokasi sekolah yang jaraknya cukup jauh berkontribusi pada persoalan partisipasi tersebut. Hasil kajian Asa Dewantara menunjukkan jarak rata-rata PAUD terdekat di perdesaan adalah 18,77 km, sedangkan di perkotaan 3,15 km. Jarak rerata SD terdekat di wilayah pedesaan adalah 4,98 KM.

Bandingkan dengan jarak rerata SD terdekat wilayah perkotaan yang hanya 1,19 KM. Kondisi yang sama juga terjadi di jenjang SMP dan SMA, dimana jarak rerata SMP dan SMA terdekat di pedesaan adalah 5,93 KM dan 11,07 KM, sedangkan di perkotaan jarak reratanya 1,98 KM dan 2,99 KM.

Kesenjangan juga terlihat di luar pulau Jawa. Di Maluku dan Papua, misalnya, jarak SD terdekat adalah 6,73 KM,
sementara SMA terdekat berjarak 20,4 KM. Kondisi Ini berkonsekuensi pada tingginya biaya transportasi yang harus disediakan oleh orang tua siswa.

Hasil kajian Asa Dewantara menunjukkan 8,9% warga pedesaan mengeluarkan ongkos transportasi lebih dari Rp 500.000 per bulan ke SMP terdekat, sementara jumlah warga perkotaan yang mengeluarkan ongkos yang sama hanya 3,3%. Sedangkan untuk menuju SMA terdekat, 8,8% warga desa mengeluarkan ongkos lebih dari Rp 500.000, sementara di perkotaan hanya 3,4% warga yang mengeluarkan ongkos yang sama. Ketersediaan sarana transportasi publik juga berpengaruh pada ongkos yang dijeluarkan.

Hasil kajian menunjukkan 58,8% desa sudah dilengkapi sarana transportasi publik ke SMA terdekat. Sementara 84,5% wilayah perkotaan sudah dilengkapi sarana transportasi ke SMA terdekat.

“Hiden cost yang muncul karena kesenjangan jarak ke sekolah ini perlu mendapatkan perhatian dan dicarikan solusinya karena berkontribusi pada mahalnya ongkos pendidikan yang harus ditanggung anak-anak yang tinggal di pedesaan dan wilayah di luar pulau Jawa,” jelas Malik.

Selain angka partisipasi sekolah, persoalan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah pekerja anak dan iddleness (ketidakaktifan/menganggur). Hasil kajian Asa Dewantara menemukan 92 dari 1.000 anak usia 7-12 tahun aktif bekerja atau menjadi pekerja anak. 76,83% dari pekerja anak tersebut tinggal di daerah perdesaan. Sementara 19 dari 1000 anak berusia 16-18 tahun tidak aktif (idle) dan 58,2% diantaranya tinggal di pedesaan.

Mereka tidak memiliki kegiatan yang sifatnya produktif, seperti bekerja, bersekolah atau mengikuti kursus keterampilan ataupun mengerjakan pekerjaan rumah tangga. “Jika tidak dicarikan solusi, kelompok ini rawan terlibat dalam persoalan sosial, seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pornografi, terpapar paham radikalisme dan terorisme, dll,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.