PALEMBANG,AKSIKATA.COM –
Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menyelenggarakan Webinar bertajuk “Kontra Narasi Penolakan Vaksinasi dan Disiplin Protokol Kesehatan” dengan sub tema “Problematika Krisis Pandemi di Provinsi Sumatera Selatan dan Sekitarnya”.
Acara ini diselenggarakan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting dan disiarkan secara live streaming melalui kanal YouTube Ditjen IKP Kominfo, Official TVMUI, dan Facebook Majelis Ulama Indonesia, beberapa waktu lalu.
Narasumber yang Webinar hadir secara virtual untuk memberikan paparan adalah; Wakil Sekretaris Jenderal Komunikasi dan Informasi MUI, H. Asrori S. Karni, Ketua Lembaga Kesehatan MUI, dr. Muhammad Adib Khumaidi, SP. OT, Wakil Ketua Lembaga Kesehatan MUI, Dr. Muhammad Makki Zamzami, dan Anggota Komisi Informasi dan Komunikasi Mahladi.
Sekretaris Umum MUI, K.H. Soleh Sakni, Lc, MA. dalam sambutannya mengungkapkan, para ulama sudah mengingatkan, jika tidak memahami akan sesuatu, maka tidak bisa memberikan pemahaman tersebut. ” Analoginya, jika kita tidak memiliki pemahaman akan kesehatan, vaksinasi, dan pandemi, maka akan mustahil dapat menyampaikannya ke masyarakat,” ujar KH Soleh Sakni.
Oleh karena itu, menurutnya, dalam kaitannya sebagai seorang da’i, kita diingatkan oleh Allah untuk melakukan pendekatan, mengajak manusia, dan mencerahkan manusia harus melalui tiga hal.
Ketiganya adalah khidmat, menghadirkan nasihat-nasihat yang menyejukan, dan strategi untuk mendebat dengan cara yang baik.” Strateginya yaitu menggunakan ilmu dan menyerahkan kepada Allah SWT,” ujarnya.
Saat sesi diskusi yang dimoderatori oleh Siti Khodijah Parinduri, Sekretaris Jenderal Komunikasi dan Informasi MUI
Asrori S. Karni menyatakan, media sosial adalah produk dari individu, maka tidak ada kontrol bagi konten-konten tidak sehat, seperti hoaks atau ujaran kebencian.
Oleh karena itu, MUI aktif mengeluarkan fatwa berupa pedoman bermuamalah di media sosial. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengkonsumsi arus informasi di masa pandemi, serta membantu terhindar dari informasi yang tidak bertanggung jawab.
“Walaupun data terkini memperlihatkan situasi yang semakin menggembirakan terjadi penurunan kasus COVID-19, kita perlu tetap waspada, disiplin terhadap protokol kesehatan, dan terus mendorong angka yang hendak dicapai. Sehingga, kita bisa semakin tangguh dalam menghadapi pandemi ini.”, tegasnya, seraya menutup sarannya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Kesehatan MUI, dr. Muhammad Adib Khumaidi mengatakan, ada tiga pilar penting dalam menghadapi COVID-19, yaitu; lingkungan, host, dan agent.
Virus atau agent menurutnya, tidak bisa diintervensi. Upaya yang bisa dilakukan adalah merubah diri kita (host) dengan personal awareness, sehingga kewaspadaan harus ditingkatkan. Selain itu, lingkungan juga menjadi hal yang penting. Upaya-upaya seperti menjaga jarak ataupun menggunakan aplikasi Peduli Lindungi di tempat publik merupakan contoh mengintervensi lingkungan
“Hidup bersih plus dan Thaharah, mengontrol faktor risiko, menyikapi wabah pandemi dengan benar, dan hidup dengan konsep ITTAQULLAH (waspada dan berhati-hati),” tegasnya.
Ia juga mengingatkan, masih ada potensi gelombang ketiga COVID-19, sehingga kita tetap harus waspada.
Sesi diskusi selanjutnya dimoderatori oleh Abdul Muis Sobri, yang diawali paparan Muhammad Makki Zamzami yang menjelaskan bahwa, dalam menghadapi pandemi COVID-19 perlu mengedepankan prinsip-prinsip syariat, yaitu pertama; agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat manusia.
Kedua, badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah. Ke tiga, penghormatan hak asasi yang dianugerahkan mencakup seluruh manusia, tanpa membedakan ras atau agama. Ke empat, terlarang untuk merendahkan derajat manusia, baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal dunia. Terakhir, mendahulukan kepentingan orang yang masih hidup daripada yang telah tiada.
“Peran fasilitas kesehatan dalam lingkup syariat juga harus dikedepankan. Hal ini karena fasilitas kesehatan yang menjadi ujung tombak dalam merawat harus mempunyai prinsip ini. Jika diterapkan, akan memberikan keberkahan”, tambahnya.
Diskusi ditutup oleh Anggota Komisi Informasi dan Komunikasi Mahladi yang memaparkan mengenai kontra narasi penolakan vaksinasi dan disiplin kesehatan. Kontra narasi harus segera dilakukan untuk mencegah munculnya pemahaman keliru dengan cara membuat narasi tandingan.
Karena pada dasarnya, kebohongan yang diulang terus-menerus, tidak hanya sekadar dianggap benar, tetapi akan menjadi kebenaran. Bila hal ini terjadi, maka susah untuk diperbaiki.
Selain itu, menurutnya, membuat kontra narasi di era digital tidaklah mudah. Internet telah menghapus sekat-sekat wilayah atau negara, sehingga sulit melakukan kontrol terhadap informasi dari luar negeri.
Perlu dimengerti bahwa penyebaran informasi negatif dilatari berbagai hal, seperti kepentingan politik, bisnis, hingga hal-hal personal lainnya. Hal ini didukung oleh karakter masyarakat Indonesia yang mudah percaya dan ikut-ikutan.
“Kebenaran harus tetap disuarakan, walaupun terlambat dan tergilas sekali pun. Pada akhirnya, kebenaran itu akan menang dan kebatilan itu akan lenyap”, tuturnya.