JAKARTA, AKSIKATA.COM – Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk tidak menjadikan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai syarat akses vaksin Covid-19, karena menjadi penghalang akses vaksin bagi masyarakat adat dan kelompok rentan.
“Pemerintah perlu mengambil langkah diskresi karena ini adalah masalah nyawa orang, bukan sekadar soal pilkada atau pemilu,” ucap Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, dalam siaran persnya, Kamis (29/7/2021).
Rukka menyebut, saat ini ada 40-70 juta jiwa masyarakat adat tersebar di Indonesia, 20 juta jiwa dari mereka telah menjadi anggota AMAN. Dari jumlah tersebut, dalam data AMAN, per 21 Juli 2021, baru 468.963 orang yang mendaftarkan diri untuk vaksinasi; sekitar 20.000 dari mereka sudah mendapatkan vaksinasi tahap pertama.
Keterbatasan akses vaksinasi dan ketiadaan NIK menjadi kendala utama rendahnya pendaftar.
Negara berkewajiban untuk menyediakan layanan kesehatan bagi seluruh penduduk, termasuk akses pemberian vaksin dalam rangka percepatan penanganan pandemi Covid-19. Bagi masyarakat adat yang tinggal di pedalaman atau pulau terluar, kewajiban memiliki NIK menjadi sandungan signifikan untuk bisa menjangkau program vaksinasi pemerintah.
Tak hanya itu, persyaratan NIK untuk vaksin juga menjadi persoalan bagi kelompok rentan dalam berbagai bentuk. Kelompok disabilitas, anak-anak dalam berbagai kondisi yang tak memiliki akta kelahiran, petani, lansia, buruh, transpuan, tunawisma, misalnya, kerap tidak memiliki NIK. “Jika keberadaan KTP dijadikan persyaratan vaksin, by name by address, maka kelompok marjinal akan mengalami risiko tak tersentuh akses vaksinasi dan ini membahayakan keseluruhan upaya penanganan pandemi,” terangnya.
Rukka menjelaskan, sebagian masyarakat adat dan kelompok rentan tidak memiliki akses layanan kesehatan yang memadai. Misalnya, karena lokasi tinggal yang terlalu jauh dari fasilitas kesehatan, ketiadaan infrastruktur, atau adanya keterbatasan fisik. Akibatnya, riwayat kesehatan, keberadaan status komorbid, tidak sepenuhnya diketahui. Karenanya, pemerintah juga perlu menyediakan fasilitas pengecekan pre-vaksin untuk mengetahui kondisi komorbid calon penerima vaksin.
Sementara, Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu,
mengatakan masyarakat disabilitas membutuhkan informasi yang konstruktif tentang vaksin Covid-19 dan juga akses fasilitas kesehatan yang terjangkau, terutama bagi perempuan disabilitas.
“Lemahnya cek kesehatan rutin menyebabkan kita tidak bisa tahu apakah seseorang mengidap komorbid atau tidak,” kata Maulani, seraya menambahkan, “layanan kunjungan ke rumah juga sangat dibutuhkan.”
Senada, Buyung Ridwan Tanjung dari Organisasi Harapan Nusantara (OHANA), mendesak adanya sosialisasi terkait prosedur apa yang harus dilakukan para penyandang disabilitas, termasuk buat yang tidak memiliki NIK, untuk bisa mendapatkan vaksin.
“Sebelum vaksin massal diberikan kepada kelompok disabilitas, perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya vaksin. Masih banyak juga yang menolak vaksin karena ketidaktahuan dan disinformasi,” kata Buyung.
Filantropi Indonesia, sebuah perkumpulan organisasi dan individu penggiat filantropi di Tanah Air, menggarisbawahi bahwa persoalan di lapangan bukan hanya persyaratan kepemilikan NIK yang memberatkan kelompok rentan. Beberapa lembaga filantropi yang menjadi sentra vaksinasi, termasuk melayani kelompok-kelompok rentan, menilai terbatasnya akses terhadap fasilitas
pemeriksaan kesehatan membuat kelompok rentan dan masyarakat adat tidak
memahami riwayat kesehatan mereka.
Ketersediaan dan distribusi vaksin yang terbatas juga menyulitkan program kesehatan pemerintah yang dikejar untuk mencapai kekebalan komunitas ini. “Mereka butuh screening kesehatan tambahan, juga mobilisasi karena ada keterbatasan bagi disabilitas untuk mendatangi layanan kesehatan. Hal yang mungkin kami lakukan adalah membawa vaksin kepada mereka atau membawa mereka ke lokasi vaksinasi,” kata Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Hamid Abidin.