JAKARTA, AKSIKATA – Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) meminta agar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menghentikan penggunaan vaksin AstraZeneca yang beredar di Indonesia. Hal ini lebih penting, ketimbang terus-menerus berusaha mensabot upaya tim dr Terawan Agus Putranto, mantan Menteri Kesehatan untuk menuntaskan uji klinis fase II, vaksin Nusantara. Hal ini disampaikan Roy Pangharapan dari Pengurus Nasional DKR kepada pers di Jakarta, Senin (19/4).
“Daripada mengganggu upaya dokter Terawan menemukan vaksin baru untuk menghadapi Covid-19, lebih baik BPOM menarik ijin dan menghentikan pengggunaan vaksin Astra Zeneca yang sudah terbukti menyebabkan korban jiwa diberbagai belahan dunia,” tegasnya.
Roy Pangharapan menegaskan bahwa upaya dr Terawan dan tim, serta para relawan yang terdiri dari beberapa elit politik dan anggota DPR-RI yang terlibat dalam uji klinis tahap II vaksin Nusantara, adalah sumbangsih penting untuk masa depan kemanusiaan yang terancam pandemi Covid 19.
“Sangat mengherankan kalau BPOM sebagai lembaga negara dan para pendukungnya justru berupaya menghentikan upaya uji klinis fase II. Apa kepentingan mereka? Mereka sebagian besar orang tua yang memiliki komorbid yang berisiko jika menggunakan vaksin konvensional,” jelasnya.
Roy Pangharapan meminta agar perbedaan pandangan jangan sampai merugikan rakyat banyak yang menaruh harapan pada vaksin Nusantara yang sedang dalam tahap uji klinis. Apalagi semakin terungkap vaksin-vaksin konvensional ternyata menimbulkan banyak masalah.
“Apakah BPOM dan 100 orang pendukungnya baca berita gak sih kalau vaksin AstraZeneca dan Johnson & Johnson bisa menyebabkan penggumpalan darah, menyebabkan kematian dan dilarang pemakaiannya di Eropa dan Amerika? Tahu gak kalau Pfizer dari awal tidak mau bertanggung jawab terhadap efek akibat vaksinasi?” ujarnya.
Roy Pangharapan juga mengingatkan bahwa BPOM tidak pernah melakukan ujicoba terhadap vaksin-vaksin impor yang masuk ke Indonesia, dan hanya berbasiskan rekomendasi WHO dan perusahaan vaksin.
“Ujicoba hanya dilakukan pada vaksin Sinovac. Yang lainnya tidak pernah secara transparan ditunjukkan ke publik ada ujicoba. Kok, sekarang pada vaksin Nusantara jadi tiba-tiba minta ujicoba? Seolah-olah- vaksin Nusantara tidak melewati prosedur yang baku,” tegasnya.
Roy Pangharapan justru mempertanyakan mengapa sampai saat ini BPOM belum melarang penggunaan vaksin AstraZeneca, Johnson & Johnson dan Pfizer di Indonesia.
“Apakah BPOM mau tanggung jawab kalau ada pasien akibat vaksinasi mengalami kesakitan atau bahkan kematian? Sangat aneh sikap BPOM yang menggalang dukungan untuk menolak vaksin Nusantara, tetapi tetap membela semua vaksin impor yang berbahaya bagi rakyat? Siapa yang suruh BPOM demikian,” kecamnya.
Kepada 100 orang pendukung BPOM Roy Pangharapan mengingatkan agar kritis dan tidak memikirkan kepentingan diri sendiri dengan menolak vaksin Nusantara. Karena ada 270 juta rakyat Indonesia yang sangat tergantung pada vaksin Nusantara.
“Kalian sudah dengar saat ini virus Covid-19 sudah bermutasi lebih dari 200 varian, dan tidak ada satu vaksinpun yang bisa menghadapi virus Covid-19 yang sedang bermutasi. Lebih baik kalian pulang ke rumah dan jaga kesehatan menunggu hasil uji klinis vaksin Nusantara yang sedang berlangsung,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan bahwa disamping melarang uji klinis vaksin Nusantara dilanjutkan, BPOM tetap mengijinkan penggunaan vaksin AstraZeneca yang sudah terbukti membahayakan jiwa manusia.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito hanya mengingatkan agar tenaga kesehatan memperhatikan warning pada informasi yang disertakan, dan yang tertera di label vaksin AstraZeneca sebelum melakukan penyuntikan vaksin tersebut pada masyarakat.
“Penyuntikan dengan vaksin AstraZeneca bisa dilanjutkan, namun kejadian-kejadian apapun menjadi pertimbangan. Sekarang kita tambahkan warning dan statement fact sheet informasi pada tenaga kesehatan, yang akan menggunakan AstraZeneca agar berhati-hati dengan risiko yang dikaitkan dengan kejadian trombosis,” kata Penny dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Sabtu (17/4).
Ia hanya menjelaskan bahwa tenaga kesehatan memperhatikan informasi warning dengan tujuan untuk menyeleksi atau skrining orang yang akan disuntikkan vaksin tersebut, yang kemungkinan mempunyai risiko akan menghasilkan trombosis.
“Begitu juga pada produk vaksinnya ada label mempunyai warning bahwa ada kemungkinan kejadian trombosis tersebut dan kita terus mencermati kejadian ke depan,” tuturnya.
Penny juga menuturkan bahwa kejadian pembekuan darah dari efek penggunaan vaksin AstraZeneca di negara-negara atau secara internasional merupakan kejadian yang sangat jarang terjadi.
“Ini kejadian sangat jarang, karena kan memang dampak di tiap manusia bisa berbeda-beda saat menerima vaksin dan jenis vaksin yang berbeda juga akan memberikan efek yang berbeda,” ungkapnya.