Catatan SBY Soal Tantangan Berat Indonesia di 2021

JAKARTA, AKSIKATA.COM – Mantan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan catatan terhadap tantangan Indonesia di 2021. SBY memilih sikap optimis, Indonesia masih punya jalan untuk mencapai kesuksesan.

SBY menjabarkan sejumlah tantangan yang bakal dihadapi bangsa Indonesia tahun ini. Kata SBY, peluang ke arah keberhasilan, bisa dikaitkan secara langsung dengan apa tantangan dan permasalahan yang dihadapi.

SBY melihat, setidaknya ada tiga tantangan yang bakal dihadapi bangsa ini ke depan.

Pertama, jelas SBY, pandemi Corona yang harus segera diatasi. Kedua, krisis ekonomi yang harus diakhiri dan kemudian ekonomi dipulihkan kembali. Ketiga, tak terkait dua permasalahan yang lain, yaitu melemahnya kerukunan masyarakat karena faktor identitas, politik dan ideologi yang tak boleh dibiarkan.

“Permasalahan yang ketiga ini justru lebih mendasar sifatnya dan jika kita abaikan dampaknya akan sangat buruk bagi kehidupan bangsa di masa depan. Kalau tidak kita atasi dan kelola dengan baik, disharmoni sosial ini akan membuat bangsa kita benar-benar terpecah dan terbelah (divided),” kata SBY dalam tulisannya di Akun Facebook, Jumat (8/1).

Masalah pertama menyangkut vaksin, SBY menilai, hadirnya vaksin, dari berbagai jenis dan negara pembuatnya, merupakan harapan baru. Sangat mungkin vaksin dan vaksinasi menjadi titik balik bagi pengakhiran pandemi Covid-19 di seluruh dunia.

Yang perlu diperhatikan, vaksinasi terhadap rakyat Indonesia yang jumlahnya 200 juta lebih tentu memerlukan waktu. Oleh karena itu, lanjut SBY, jangan sampai upaya mengatasi Covid-19 saat ini menjadi kendor, termasuk dalam menjalankan berbagai pembatasan yang diperlukan.

SBY mengkritik penjelasan Menteri Kesehatan tanggal 2 Januari 2021 bahwa vaksinasi akan tuntas dalam waktu 3,5 tahun. Kemudian diralat oleh pejabat senior Kemenkes yang mengatakan bahwa vaksinasi akan selesai dalam waktu 15 bulan. Artinya, vaksinasi terakhir terhadap manusia Indonesia akan berlangsung pada tanggal 13 April 2022.

“Saya tak ingin berdebat tentang realistiknya berapa lama waktu yang diperlukan untuk melakukan vaksinasi di negeri ini. Timeline-nya juga seperti apa. Yang penting, segalanya mesti direncanakan, disiapkan dan dilaksanakan dengan baik,” terang Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.

SBY memahami tak mudah dalam menjalankan program vaksinasi ini. Misalnya faktor geografi, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan. Juga dari segi demografi, mengingat penduduk Indonesia tersebar di berbagai pelosok tanah air dan sebagian daripadanya sulit dijangkau.

Di sisi lain, keadaan dan kesiapan infrastruktur kesehatan masyarakat di berbagai wilayah, termasuk faktor transportasi, penyimpanan dan distribusi vaksin serta elemen logistik yang lain. Kapan berbagai jenis vaksin yang dipesan pemerintah datang di Indonesia, sesuai kesanggupan penjualnya, juga harus menjadi bagian dari perencanaan yang realistik, jelas SBY.

Belum lagi soal anggaran. Pemerintah tentu harus menyiapkan anggaran yang cukup besar. Apalagi Presiden Jokowi sudah menjanjikan vaksin ini gratis bagi seluruh rakyat Indonesia. Ingat, keuangan negara dan ruang fiskal kita sungguh terbatas. Tentu negara tak bisa terus-menerus berutang, karena utang yang kian menggunung akan menambah beban ekonomi yang kini bebannya sudah sangat.

“Point saya adalah apa yang telah dijanjikan oleh pemerintah kepada rakyat harus benar-benar ditepati. Kalau tidak, misalnya karena salah perencanaan dan salah hitung, bisa menimbulkan chaos tersendiri. Hal begitu juga akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada pemerintahnya (mistrust). Kalau ini terjadi dampaknya buruk. Masyarakat bisa panik, marah dan kehilangan harapan. Keseluruhan upaya mengatasi pandemi di negeri ini juga bisa gagal.”

“Saya berpandangan bahwa sebenarnya pemerintah mampu untuk mengelola vaksinasi ini dengan baik. Syaratnya, lakukan manajemen krisis yang efektif serta bekerja siang dan malam. Bukan business as usual,” kata SBY.

Menurut SBY, hampir semua negara berpendapat bahwa keberhasilan menangani Covid-19 akan mendorong suksesnya pemulihan ekonomi dari krisis dewasa ini.

Sebenarnya, harapan dunia amat tinggi bagi pulihnya ekonomi global mulai tahun 2021 ini. Namun, nampaknya harapan itu tak segera terwujud. Pasalnya, di penghujung tahun 2020 yang lalu, tiba-tiba gelombang pandemi meninggi bahkan memuncak di banyak negara.

Sejumlah lembaga internasional karenanya harus memperbaharui prediksinya, utamanya menyangkut pertumbuhan dan prospek perekonomian dunia.

Pertumbuhan ekonomi global kembali dikoreksi ke bawah, atau tumbuh lebih rendah dari yang diperkirakan sebelumnya. Bahkan ada pula yang memperingatkan negara-negara berkembang dan juga emerging markets atas utang negaranya yang sudah kelewat tinggi. Jangan sampai banyak yang mengalami krisis utang (debt crisis).

Untuk Indonesia, dengan asumsi penanganan pandemi lebih efektif dan berhasil, terutama dengan dilaksanakannya vaksinasi nasional, mulai tahun ini bisa dilakukan pemulihan ekonomi yang lebih luas.

“Kita tahu, kegiatan masyarakat di berbagai bidang dan aktivitas ekonomi di seluruh Indonesialah yang bakal mendorong tumbuhnya ekonomi nasional,” jelas SBY.

SBY menambahkan, bantuan sosial atau biaya untuk social safety net yang dilakukan pemerintah bisa menurun, jika lapangan pekerjaan bisa dihidupkan lagi. Artinya, angka pengangguran dapat dikurangi secara signifikan, sehingga masyarakat punya penghasilan lagi. Syarat terbukanya lapangan kerja adalah apabila investasi dan bisnis (baik sektor formal maupun informal) menggeliat lagi. Kebangkitan atau pergerakan ekonomi tersebut bisa terwujud jika konsumsi atau demand, utamanya konsumsi rumah tangga, kembali pulih dan meningkat.

“Sebenarnya teorinya tidak muluk-muluk. Yang mesti dilakukan negara tiada lain adalah stimulasi permintaan, untuk menggerakkan kembali kegiatan bisnis dan investasi yang sedang mandeg. Memang semuanya memerlukan proses dan tak bisa begitu saja datang. Perlu kebersamaan dan upaya terpadu antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat luas (troika),” ujar SBY.

SBY menggarisbawahi, tantangan utama yang bakal dihadapi oleh pemerintah adalah bagaimana fiskal dan APBN bisa dikelola dengan baik. Juga bagaimana utang Indonesia dapat dikontrol secara ketat dan serius.

Utang yang ada, kata SBY, sudah sangat tinggi dan karenanya tidak aman. Persoalannya bukan hanya meningkatnya rasio utang terhadap PDB Indonesia, tetapi yang berat adalah utang yang besar itu sangat membebani APBN kita. Membatasi ruang gerak ekonomi.

“Betapa beratnya ekonomi kita jika misalnya 40 persen lebih belanja negara harus dikeluarkan untuk membayar cicilan dan bunga utang. Berapa banyak yang tersedia untuk belanja pegawai dan belanja rutin, dan kemudian berapa yang tersisa untuk belanja modal dan membiayai pembangunan,” ujar SBY.

Jadi, tutur SBY, jangan hanya berlindung pada persentase debt-to-GDP ratio yang dianggap masih aman dan diperbolehkan undang-undang. Bukan di situ persoalannya. Persoalannya terletak pada kemampuan pemerintah untuk membayar utang itu (capability to pay) yang dirasakan sudah sangat mencekik.

Menurut pendapat SBY, permasalahan utang yang sangat serius ini secara bertahap dapat diatasi. Cara yang paling sederhana adalah kurangi defisit anggaran. Kalau tahu penerimaan negara jauh berkurang, karena pemasukan dari pajak juga terjun bebas, ya kendalikan pembelanjaan negara.

Kata SBY, pemerintah harus sangat disiplin dan harus berani menunda proyek dan pengadaan strategis yang masih bisa ditunda. Jangan karena Perppu yang memberikan extra power kepada pemerintah, termasuk tak dibatasinya angka defisit anggaran, lantas tak pandai menentukan berapa besar defisit yang aman dalam APBN.

SBY bercerita, di tahun 1960-an, ekonomi RI jatuh pada titik terendah. Mengapa? Karena pemerintah tak pandai mengontrol pembelanjaan yang kelewat tinggi. Seperti pepatah ‘besar pasak daripada tiang’.

Meskipun waktu itu cara menutup defisit selain menambah utang juga dilakukan pencetakan uang dalam jumlah yang besar, ekonomi Indonesia tak dapat diselamatkan.

Singkat kata, sejalan dengan suksesnya penanganan Covid-19 (dengan asumsi vaksinasi berhasil baik) akan terbuka jalan untuk menggerakkan kembali perekonomian RI. Imperatifnya, pemerintah harus disiplin dan tepat dalam mengatur keuangan negara. Juga harus bisa mengendalikan utang, agar ekonomi kita di tahun-tahun mendatang dapat diselamatkan.

“Pemimpin dan pemerintahan yang bijaksana tentu tidak akan mewariskan masalah dan beban yang sangat berlebihan kepada pemerintahan-pemerintahan berikutnya,” tambah dia.

Terakhir, SBY di khawatir menyangkut kehidupan bermasyarakat dan berbangsa akhir-akhir ini. Khususnya berkaitan dengan kerukunan masyarakat atau harmoni sosial yang terasa retak dan jauh dari semangat persaudaraan sebagai bangsa.

Dengan tekun, SBY amati apa yang terjadi di Tanah Air 3-4 tahun terakhir ini. Bermula dari dinamika politik pada Pilkada Jakarta tahun 2017, sepertinya dalam kehidupan masyarakat terbangun jarak dan pemisah yang semestinya tak terjadi. Terbangun polarisasi yang tajam di antara kita, baik karena faktor identitas, politik maupun ideologi.

“Sepertinya masyarakat kita harus dibelah dua, kita dan mereka. Bahkan, kita lawan mereka,” kata SBY.

Sebagian dari kita menganggap mereka yang tidak sama identitasnya (agama misalnya), partai politiknya dan juga garis ideologinya adalah lawan. Untuk bicara pun merasa tidak nyaman. Garis permusuhan ini bahkan menembus lingkaran persahabatan yang sudah terbangun lama, bahkan lingkaran-lingkaran keluarga.

SBY sungguh prihatin jika lingkaran tentara dan polisi yang harusnya menjadi contoh dalam persatuan dan persaudaraan kita sebagai bangsa juga tak bebas dari hawa permusuhan ini.

“Keadaan ini sungguh menyedihkan dan sekaligus membahayakan masa depan bangsa kita,” kata SBY.

SBY kembali bercerita, yang dialami tahun 1964-1965 dulu saat masih di bangku SMA. Masyarakat, bahkan hingga tingkat grassroots, terbelah karena faktor politik dan ideologi. Polarisasi sosial tajam. Pelajar, mahasiswa, pemuda, guru, buruh, petani dan sejumlah elemen masyarakat terbelah. Bahkan berhadap-hadapan.

Faktor inilah yang barangkali setelah terjadi Gerakan 30 September 1965 yang berdarah dulu, kekerasan terjadi di seluruh tanah air dengan korban jiwa yang cukup besar.

Di masa yang berbeda, SBY juga memiliki banyak pengalaman ketika ikut menyelesaikan konflik komunal yang berbasiskan identitas di berbagai daerah. Dalam kapasitas saya sebagai Menko Polkam, dia juga turun ke lapangan untuk menyelesaikan konflik horizontal pasca krisis 1998, khususnya di Sampit, Poso, Ambon dan Maluku Utara. Untuk mengakhiri benturan dan kekerasan saja memerlukan waktu 3-4 tahun.

“Belum fase rekonsiliasi dan trust building yang juga memakan waktu yang lama. Masyarakat lokal saya yakini tahu bahwa korban jiwa dan kerusakan harta benda juga cukup besar,” kenang SBY.

Saat ini, jika polarisasi antar kubu politik sangat tajam, kehidupan demokrasi pasti tidak sehat. Memilih kandidat dan calon-calon pemimpin, baik di pusat maupun daerah, akan sangat dipengaruhi dan bahkan ditentukan apakah mereka memiliki identitas, paham ideologi dan politik yang sama. Pertimbangan utama dalam memilih pemimpin seperti faktor integritas, kapasitas dan kesiapan untuk memimpin, dianggap tak lagi penting.

“Kalau hal begini menjadi kenyataan di Indonesia, dan dari tahun ke tahun makin ekstrem, bisa dibayangkan masa depan negeri ini,” SBY menambahkan.

Kalau polarisasi sosial dan politik ekstrem, ujar SBY, kontestasi dalam Pemilu dan Pilkada bisa sangat keras dan tidak damai. Bagi Indonesia yang sepanjang sejarahnya selalu ada konflik, baik vertikal maupun horizontal, keadaan buruk seperti itu harus dicegah dan hindari.

Karenanya, mumpung belum terlalu jauh divisi dan polarisasi sosial serta politik di negeri kita, para pemimpin dan semua elemen bangsa harus sadar bahwa sesuatu harus dilaksanakan. Something must be done. Pembiaran dan inaction adalah dosa dan kesalahan besar.

Di sisi lain, jangan pula ada yang justru menginginkan dan memelihara polarisasi sosial-politik yang tajam ini untuk kepentingan pribadi dan politiknya. Kalau ada pihak-pihak yang berpikiran dan bertindak seperti itu, menurut SBY, mereka bukan hanya tidak bertanggung jawab tetapi juga tidak bermoral. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang sudah benar-benar terbelah dan terpolarisasi secara tajam, sangat tidak mudah untuk menyatukannya kembali.

“Menutup tulisan ini, saya ingin meminta maaf jika ada pihak-pihak yang tak berkenan dengan artikel ini. Setiap kali saya menyampaikan pandangan dan pendapat saya, selalu ada yang salah terima. Padahal niat saya baik, dan pandangan yang sampaikan juga tulus sifatnya. Tak ada keinginan untuk menggurui siapapun. Saya masih membaca berbagai tuduhan dan komentar miring dari kawanan buzzer, setiap saya menyampaikan pandangan,” terang SBY.

“Saudara-saudara saya rakyat Indonesia tentu tahu bahwa saya pernah memimpin negeri ini. Waktu itu saya juga menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang berat. Jadi, saya tahu bahwa persoalan bangsa itu kompleks dan tak semudah yang dipikirkan masyarakat. Karenanya, saya tak suka dan tak mudah menyalahkan pemerintah. Sungguhpun demikian, sebagai orang tua dan juga seseorang yang sangat mencintai negeri ini, tentunya boleh kan saya berpendapat dan berbicara,” tutup SBY.(*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.