JAKARTA, AKSIKATA.COM – Di tengah situasi resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19, banyak pasangan khususnya istri tak tahan ekonomi rumah tangga carut marut. Akibat di PHK, usaha bangkrut, kontrak tak diperpanjang, membuat pasangan pilihan cerai, daripada bertahan.
Terhitung sejak bulan Juni dan Juli 2020, jumlah perceraian meningkat menjadi 57.000 kasus. Padahal, saat awal penerapan PSBB pada April dan Mei 2020, perceraian di Indonesia di bawah 20.000 kasus. Gugatan cerai umumnya karena faktor ekonomi, dan mayoritas gugatan dilakukan para istri.
Hal di dikatakan Direktorat Jendral Badan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Dirjen Badilag MARI), Aco Nur bahwa angka perceraian di Pulau Jawa meningkat akibat pandemi Covid-19, akhir pekan lalu.
Aco menduga hal itu dilatarbelakangi faktor ekonomi, di mana banyak pencari nafkah harus menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) di saat pandemi.
Mayoritas penggugat cerai yang masuk dalam daftar Pengadilan Agama berasal dari istri, dilandasi faktor ekonomi.
Penggugat perceraian umumnya di Pulau Jawa khususnya di Provinsi Jawa Barat, kemudian di kota Semarang, dan Surabaya.
Saat awal penerapan PSBB pada April dan Mei 2020, perceraian di Indonesia di bawah 20.000 kasus. Namun pada bulan Juni dan Juli 2020, jumlah perceraian meningkat menjadi 57.000 kasus.