UU Omnibus Law Rugikan Buruh, Salah Satunya Ketentuan Minimal Istirahat Buruh Dihapus Pemerintah

JAKARTA, AKSIKATA.COM – Walau UU Omnibus Law sudah disahkan Presiden Jokowi, namun kebobrokan UU ini terus diungkap sejumlah pengamat. Salah satunya, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) membongkar sejumlah poin dalam Omnibus Law Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dianggap merugikan pekerja. Beleid baru itu mengubah beberapa pasal lama di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus Ahmad mengatakan, salah satu poinnya adalah waktu istirahat. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, pekerja mendapatkan jatah istirahat jam kerja minimal setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus, istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja, cuti tahunan 12 hari setelah bekerja 12 bulan secara terus-menerus, dan istirahat panjang minimal 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh.

Namun, pemerintah menghapus ketentuan minimal istirahat panjang dalam UU Cipta Kerja. Dalam beleid itu, aturan soal istirahat panjang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

“Dalam UU Cipta Kerja ini tidak mencantumkan istirahat panjang, dipersulit untuk istirahat panjang,” tutur Ahmad dalam diskusi secara virtual, Kamis (5/11).

Kemudian, pemerintah juga menambah pasal 88b dalam bagian ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja. Pasal itu berbunyi upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/ satuan hasil.

“Dalam aturan sebelumnya, UU Ketenagakerjaan tidak ada. Ketentuan ini direvisi,” imbuhnya.

Selain itu, dikutip CNN Indonesia pemerintah juga menambah pasal 154A dalam UU Cipta Kerja. Dalam pasal itu dituliskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa terjadi dengan berbagai alasan.

Beberapa alasan itu, seperti perusahaan melakukan penggabungan atau pemisahan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia kembali pekerja, perusahaan melakukan efisiensi yang diikuti dengan penutupan perusahaan, lalu perusahaan tutup karena merugi secara terus menerus selama 2 tahun.

Kemudian, perusahaan tutup disebabkan keadaan memaksa, perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), perusahaan pailit, pekerja mangkir lima hari berutut-turut tanpa keterangan tertulis, pekerja melakukan pelanggaran yang diatur dalam perjanjian kerja, serta pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak berwajib karena diduga melakukan tindakan pidana.

“Banyak alasan perusahaan untuk melakukan PHK,” jelas Ahmad.

Lalu, poin lain dalam UU Cipta Kerja yang merugikan buruh adalah pesangon. Jumlah yang diberikan berkurang dari maksimal 32 kali gaji menjadi 25 kali gaji.

Sebagai informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu. Hal ini dilakukan di tengah gelombang protes sejumlah pihak.

Lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru meneken UU Cipta Kerja pada 2 November 2020 lalu. Salinan UU Cipta Kerja diunggah oleh pemerintah di situs setneg.go.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.