JAKARTA , AKSIKATA.COM – Pemerhati tempat hiburan malam (THM), S. Tete Marthadilaga mengapresiasi keputusan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang melepas atau tahap melonggarkan rem darurat menjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi mulai 12 hingga 25 Oktober 2020.
Kembalinya PSBB transisi tentu akan disambut suka cita baik pekerja THM dan sektor pariwisata pada umumnya serta memberikan angin baru bagi pengusaha untuk kembali bangkit menjalankan usahanya yang selama ini terpuruk.
Namun demikian, kata Mastete – sapaannya, rem darurat yang hampir sama konotasinya dengan rem mendadak yang diterapkan atas kebijakan Pemprov DKI Jakarta, sejatinya berdampak buruk bagi usaha sektor pariwisata secara keseluruhan. Artinya, rem darurat itu telah membuat “sekarat” para pekerja tempat hiburan malam seperti diskotik, restoran, kafe bar, Spa, warung makan, warung kopi dan lainnya.
Para pekerja di sektor usaha pariwisata, khususnya diskotik, kafe, resto, bar dan lainnya termasuk sektor usaha yang paling terdampak. Pekerja THM, misalnya hanya mampu bertahan 3 bulan selama tempat bekerjanya tidak beraktivitas. Itupun apabila masih tersisa tabungannya. Namun kenyataannya para pekerja harus menelan pil pahit, karena masa PSBB terus berlanjut hingga lebih 7 bulan nganggur tanpa penghasilan. Sementara, karena tinggal di rumah kost dan menyangkut identitas, mereka ini sebagian besar tidak tercover bantuan sosial.
Sementara dalam kondisi yang sama, para pengusaha THM dan sejenisnya sudah lelah berkeluh kesah. Tidak mampu berbuat banyak. Nekat membuka usahanya pun akhirnya berakibat fatal, karena begitu ketahuan langsung ditutup dan disegel dan dikenakan denda administrasi terkait pelanggaran PSBB. Dan aneh bin ajaib nya, aparat (oknum) yang terkait terkesan pilih kasih dan melihat sebelah mata. Satu tempat dirazia dan ditutup, tetapi di tempat lain dibiarkan beroperasi.
“Pekerjanya ‘sekarat’ akibat rem darurat, sementara pengusahanya ‘terkapar’ bukan karena terpapar Covid-19. Kesannya kan seperti keputusan tergesa dan panik hingga sangat berdampak pada masalah ekonomi dan sosial,” ujar Mas Tete Martha kepada media ini, Minggu (11/10/2020).
Terlepas dari itu, pengamat THM tetap mengapresiasi penerapan PSBB guna mencegah atau setidaknya meminimalisir penyebaran dan penularan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), khususnya di wilayah DKI Jakarta dan daerah penyangga dan Indonesia pada umumnya. Namun demikian penerapan “Rem Darurat” yang kurang perhitungan bisa berdampak fatal.
Untuk itu sudah sewajarnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Gubernur Anies Baswedan, tetap mempertahankan penerapan PSBB transisi, transisi satu, transisi dua dan selanjutnya tergantung dari grafik pandemic Covid-19 itu sendiri. Masa transisi tersebut dibarengi dengan penegakan disiplin terhadap protokol kesehatan (Prokes) dan sanksi yang melibatkan aparat TNI – Polri, Satpol PP dan instansi terkait lainnya.
Dengan diberlakukannya kembali PSBB Transisi, seyogyanya Pemprov DKI memberikan peluang bagi usaha sektor pariwisata untuk membuka usahanya dengan ketentuan protokol kesehatan yang ketat dan dibarengi pembinaan serta pengawasan yang ketat pula agar roda perekonomian di sektor ini bergerak perlahan. Setidaknya diberikan perlakuan khusus, namun diterapkan sanksi yang tegas pula.
“Pengusaha dan pekerja sudah waktunya untuk menyadari pentingnya Prokes agar mematuhi dan disiplin demi menjaga kepentingan dan keselamatan bersama,” cetus Mas Tete Martha.
“Jadi sejatinya persoalannya bukan pada rem darurat, melainkan karena kurangnya kesadaran masyarakat akan protokol kesehatan (Prokes), lemahnya pengawasan, sosialisasi, edukasi dan sanksi pelanggaran..Tapi sekarang sudah hebat semua unsur yang terkait bersinergi turun ke lapangan. Para pelanggar dikenakan sanksi administrasi dan sanksi sosial. Masyarakatpun mulai sadar akan pentingnya protokol kesehatan demi memupus mata rantai pandemi Covid-19),” tandasnya. (Eddy)