JAKARTA, AKSIKATA.COM – Gerakan Pemuda Ansor menyambut baik ajakan kerjasama Masyarakat Adat Dayak yang tergabung dalam Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHDN). Kedatangan mereka adalah untuk mendukung Pancasila yang mereka nilai sudah final. DIO dan MHDN juga siap menghadapi organisasi yang ingin mendirikan khilafah di Indonesia, sebagai pengganti Pancasila. Semua elemen bangsa harus berkolaborasi memperkuat Pancasila.
Hal ini terungkap dalam pertemuan Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas bersama jajarannya dengan pimpinan DIO dan MHDN di Markas GP Ansor di Kawasan Kramat, Jakarta, Kamis (16/7/2020).
Yaqut mengatakan, pelaksanaan Pancasila harus semakin diperkuat, sehingga benar-benar dapat dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Kami sangat senang karena masyarakat Dayak mau berkolaborasi dengan GP Ansor untuk bersama-sama mengawal pelaksanaan Pancasila. Ada banyak tantangan berat pelaksanaan Pancasila ke depan, sehingga kita butuhkan kolaborasi yang lebih luas dari berbagai elemen bangsa,” jelas Yaqut.
Menurut Yaqut, tantangan terbesar misalnya, masih adanya kelompok masyarakat yang nyata-nyata ingin mendirikan khilafah Islamiyah. Dia menegaskan, pihaknya siap melawan siapapun yang akan mengganggu negara Pancasila. Untuk itu, katanya, GP Ansor sangat mengapresiasi sikap yang ditunjukkan masyarakat Dayak.
“Mereka ingin mendirikan khilafah Islamiyah, kami juga muslim, tapi bagi kami negara Indonesia sudah final dan Pancasila merupakan dasar negara. Kita lawan kelompok seperti itu. Tapi, kita tidak bisa sendiri-sendiri. Kita harus terus menjalin kerja sama dengan kelompok lain untuk memperkuat pelaksanaan Pancasila,” kata Yaqut.
Yaqut menegaskan, perbedaan dan keberagaman Indonesia merupakan kodrat Bangsa Indonesia, sehingga negara ini harus memastikan semua warga negara memiliki hak yang sama sebagai warga negara. “Misalnya, kita hanya memiliki enam agama yang diakui negara, tapi jangan lupa ada banyak agama lokal yang tidak boleh diabaikan negara,” katanya.
Tantangan lain, kata Yaqut, masih adanya beberapa produk perundangan yang dalam implementasinya justru melemahkan Pancasila. Untuk itu, perlu upaya untuk mengembalikan semua produk perundangan kembali kepada semangat nilai Pancasila.
“Contoh saja, UU Minerba. Itu membuka peluang seluasnya untuk korporasi besar mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan alam. Keadilan sosial, masa hanya untuk konglomerasi. Hal-hal seperti ini harus kita perbaiki,” tegasnya.
Dalam praktik politik, kata Yaqut, sistem pemilihan umum langsung juga harus diperbaiki lagi, karena kalau sesuai Pancasila sebenarnya musyawarah mufakat. “Praktik politik uang dalam pemilihan umum. Berpolitik dengan mengedepankan politik identitas agama dan sebagainya, tentu merupakan tantangan bagi pelaksanaan Pancasila yang tidak ringan,” tutur Yaqut yang juga anggota DPR RI ini.
Sementara itu, dalalm pertemuan itu Yulius Yohanes, Sekretaris Jenderal Dayak International Organization, meminta pemerintah konsisten melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan sehingga program pembangunan di Kalimantan harus berbasiskan Kebudayaan Suku Dayak yang diatur dalam Protokol Tumbang Anoi 2019.
Yulius Yohanes menyampaikan agar tidak lagi melakukan kriminalisasi terhadap petani peladang Dayak yang buka ladang dengan cara bakar, karena bagian yang tidak terpisahkan dari aspek religinya. Selagi teknologi inovasi tepat-guna berbiaya murah belum ditemukan dalam buka ladang tidak dengan cara dibakar.
“Harus memperhitungkan dampak sosial yang lebih luas, jika masih dilakukan kriminalisasi terhadap petani Dayak, karena berladang dengan cara bakar, bagi orang Dayak bagian dari aplikasi peribadatannya.”
Menurut Yulius Yohanes, alasan di balik kriminalisasi terhadap peladang Dayak buka ladang dengan cara bakar, lantaran menimbulkan kabut asap, sangat tidak tepat, ini bukti aparat Pemerintah Indonesia tidak memahami anthropologi budaya Suku Dayak. Karena aktifitas ini, ujar Yulius Yohanes, sudah dilakukan sejak ribuan tahun silam, sementara penyebab kabut asap setiap kali musim kemarau, adalah kebakaran lahan milik perusahaan perkebunan berskala besar, serta pemanfaatan lahan gambut menjadi kegiatan ekonomi non-konservasi yang mengabaikan aspek keseimbangan ekosistem.
Memperhatikan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, lanjut Yulius Yohanes, supaya pemajuan kebudayaan tidak memicu pertikaian dan penindasan yang mengancam keragaman masyarakat, yang merupakan identitas bangsa Indonesia.
“Maka masyarakat Suku Dayak, jangan dipaksakan bertani menanam padi sawah baru di Pulau Kalimantan, karena bukan bagian dari Kebudayaan Dayak. Masyarakat Suku Dayak membutuhkan sistem pengairan atau tata kelola air yang cocok dengan Kebudayaan Suku Dayakdi dalam bercocok tanam padi,” tambah Yulius Yohanes.
Koordinator Penghubung DIO Provinsi Kalimantan Tengah, Dagut H Djunas, menegaskan agar kawasan situs pemukiman dan situs pemujaan yang sudah terlanjur beralih fungsi menjadi kegiatan ekonomi non-koservasi sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, maka setelah habis izin usahanya atau habis satu siklus tanam, supaya segera dikembalikan kepada masyarakat Suku Dayak setempat.
“Ini sebagai implementasi dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, serta sebagai upaya mendukung Program Heart of Borneo (HoB) Indonesia Malaysia, Brunei Darussalam sejak 12 Februari 2007. (*)