JAKARTA, AKSIKATA.COM – Awal perjuangan bisa sukses dan menyenangkan banyak orang, perlu pengorbanan. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Pratama Persadha yang karib disapa Pratama. Untuk sampai di tempatnya saat ini, butuh berjuangan dan semangat yang tak pernah padam.
Sambil duduk di kursi, Pratama bercerita, dia berasal dari keluarga sederhana. Semasa masih duduk di bangku SMP di kawasan Kecamatan Cepu, Jawa Tengah, hidupnya sangat susah. Padahal, Cepu sebuah kawasan yang dikenal banyak orang sebagai penyumbang minyak di Indonesia.
Namun, banyaknya minyak bukan berarti masyarakatnya sejahtera, yang ada malah sulit mencari air. Tiap menggali tanah bukannya air, malah minyak yang keluar.
“Tapi minyak tidak membuat sejahtera penduduk asli. Hanya membuat pendatang sejahtera. Bahkan, mereka juga punya fasilitas lengkap yang tidak bisa diakses penduduk lokal,” cerita dia.
Orangtua Pratama bekerja sebagai guru. Bapaknya seorang guru SD dan ibunya guru SMP di Jakarta. Setelah lulus SMP, Pratama baru menyusul orang tuanya hidup di Jakarta untuk melanjutkan pendidikan di SMK.
“Saya SMP tinggal sama kakek di Cepu. Orang tua saya sudah tinggal di Jakarta terlebih dahulu,” ucap dia mengingat.
Setelah tinggal di Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya, toh hidup tak langsung mulus. Tetap saja dia menemukan jalan terjal. Pratama harus tinggal bersama saudaranya. Itu dikarenakan kondisi rumah tempat tinggal orang tuanya cukup kecil. Itu pun mengontrak.
“Kontrakan rumah orangtua saya ukurannya kecil. Terpaksa saya tinggal bersama paman,” ucapnya.
Pria kelahiran Cepu 14 Okotber 1977 ini, harus merasakan pahitnya kehidupan. Segala rasa susah, dia telan dan nikmati. Usai lulus SMK, untuk bisa melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, dia harus berpikir keras. Bagaimana bisa kuliah tanpa beban biaya yang besar. Dan, Pratama menemukan jalan keluarnya.
“Akhirnya, saya mendaftar di Akademi Sandi selepas lulus SMA pada 1996. Masuk di akademik itu disebabkan pertimbangan biaya,” bebernya.
Dia mengaku, masuk di akademik Sandi Negara diajak oleh salah seorang temannya. Kebetulan orang tuanya berdinas di Departemen Kehakiman. Pada saat bersamaan, Pratama juga diterima di Universitas Diponegoro (Undip) lewat jalur program semacam PMDK atau penelusuran minat dan kemampuan.
“Sudah, ayo ikut saja. Pokoknya, sekolahnya gratis dan semua sudah dijamin. Tidak perlu keluar biaya lagi,” ungkap Pratama menirukan ajakan temannya kala itu.
Dibenak dia, ada rasa agak ragu. Dia gamang. Tapi iming-iming biaya gratis kuliah cukup menggiur. Pratama pun menekatkan diri. Kesempatan kuliah di Undip pun akhirnya dilepas.
Dan, akhirnya Pratama benar-benar mengikuti tahapan tes tersebut. “Walhasil, saya benar-benar ikut tes, tidak kenal siapa pun di sana,” tuturnya.
Di saat seleksi itu, kata dia, bukan hanya tes akademis maupun tes tulis. Namun juga diwarnai tekanan mental. “Kami tes sambil digubrak-gubrak juga sehingga sulit untuk mikir dengan tenang,” cerita dia lalu tersenyum.
Ia mengatakan, tes tersebut diikuti sekitar 1.500 orang yang mendaftar. Dan dia merasa bersyukur karena masuk dalam 19 orang yang berhasil lolos. Saat itu, Akademi Sandi tidak menerapkan sistem kuota. Artinya, mereka yang lolos memang dinilai memenuhi kualifikasi.
“Padahal, saya sebenarnya tidak pintar-pintar amat juga. Cuma mungkin, kebetulan saja jawaban saya banyak yang benar,” ujarnya merendahkan diri.
Hasilnya, sekarang dia dikenal sebagai Dr. Pratama Dahlian Persadha, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC (Communication and Information System Security Research Center).
Pratama Dahlian Persadha telah menggeluti dunia siber sejak 1999 di Akademi Sandi Negara. Sejumlah pendidikan formal dan informal dijalaninya, seperti pelatihan “Secure IP-Based VPN and Secure Email” dan “Hardware Encryption Programming and Technology” di Selandia Baru, serta pelatihan “Cryptography Programming” di Swiss.
Keahlian yang didapatnya dalam pelatihan-pelatihan tersebut bahkan telah membawanya menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) pengamanan pesawat Kepresidenan RI. Tak hanya itu, Pratama juga pernah menjabat sebagai Ketua Tim Lemsaneg Pengamanan IT Komisi Pemilihan Umum, Ketua Tim Lemsaneg Cyber Defence Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, dan terakhir sebagai Pelaksana tugas (Plt) Direktur Pamsinyal Lemsaneg.
Di Lemsaneg, Pratama telah 19 tahun mengabdi. Dalam kurun waktu yang tidak sebentar itu, Pratama memiliki pandangan tersendiri mengenai sistem komunikasi dan informasi di Indonesia yang menurutnya masih rendah. “Indonesia memiliki sistem informasi yang sangat tidak aman dan sangat mudah disadap”.
Atas dasar itu, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari Lemsaneg dan mulai merintis Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC). Pratama bertekad untuk seutuhnya menjadi penjaga keamanan siber di Indonesia.
Bersama sejumlah profesional di bidang sistem keamanan teknologi informasi dan Kriptografi, pria kelahiran Blora, Jawa Tengah ini mulai mengampanyekan kesadaran terhadap keamanan sistem komunikasi dan informasi melalui berbagai kegiatan kreatif. Di antaranya kampanye melalui media video viral, komik, karikatur, dan poster yang disebarkan lewat web, media sosial, dan media massa.
“Tapi, meski secara fisik saya tidak lagi di Lemsaneg, saya tetap orang Lemsaneg. Sebab, kalau misalnya dibelah badan ini, darah saya itu sudah berbeda dengan orang lain pada umumnya. Darah saya sudah darah Lemsaneg. Entah ini kutukan atau berkah, tapi itulah kenyataannya,” ungkapnya.
Tugasnya sebagai penjaga keamanan siber Indonesia juga membawanya berkeliling dari satu institusi ke institusi lain untuk melakukan diskusi publik, di samping tetap harus melakukan riset terkait keamanan sistem informasi. Hasil diskusi dan riset secara berkala akan dipublikasikan melalui website CISSReC. Dengan itu Pratama berharap dapat mewujudkan masyarakat yang sadar dan paham akan pentingnya keamanan sistem informasi dan komunikasi.