Redaksi AKSI KATA menurunkan tulisan dalam buku 212 Undercover karya Sri Wulandari dan Evieta Fajar P. Buku yang bercerita tentang kesaksian seorang Habib terhadap peristiwa Aksi 212. Aksi 212 adalah sejarah fenomenal yang melibatkan jutaan umat muslim di tanah air. Namun, tak banyak yang tahu peristiwa di baliknya.
Adalah Sayyid Abdul Qadir Thoha Ba’aqil, seorang tokoh masyarakat yang dikenal sangat peduli dengan persatuan bangsa bergerak untuk mencari solusi dari rentetan peristiwa itu.
Habib Qadir, demikian dia disapa, tak ingin negara luluh lantak. Apalagi, dia melihat negara asing sudah bersiap-siap memanfaatkan situasi dari kericuhan yang terjadi. Karena itulah Habib menelurkan gagasan, agar negara hadir di tengah-tengah rakyatnya. Negara dalam hal ini adalah pemimpin negara.
Kesaksian Ustadz Tawfiqur Rahim, anggota Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Kalimantan Selatan dan Sekretaris MUI Kalimantan Selatan Sekretaris MUI Banjamasin:
Saya hanya bagian dari rakyat Indonesia yang tak menginginkan pertumpahan darah sesama bangsa terjadi. Saya tetap berharap, kasus Ahok berjalan sebagaimana mestinya, diadili sebagaimana hukum yang berlaku, tanpa harus memecah persatuan bangsa.
“Saya tak ingin bangsa ini terkoyak-koyak, saya tak mau negara ini berdarah!”
Berawal dari kasus inilah, kami yang berlatar belakang pendidikan agama sangat… sangat prihatin terhadap kondisi bangsa. Kami ingin tetap menjaga kondusivitas kehidupan berbangsa dan bernegara serta senantiasa memelihara ukhuwwah dan persaudaraan. Jangan sampai ada aksi anarki mengatasnamakan agama. Jangan sampai negara kita terpecah-pecah yang kemudian kita sesali sendiri.
Dalam sebuah obrolan dengan beberapa kawan dan guru saya, termasuk dengan Habib Abdul Qadir Thoha Ba’agil, seorang tokoh ulama di Kota Banjarmasin yang cukup disegani, berbagai saran pun muncul agar peristiwa kerusuhan tak terulang lagi pada aksi-aksi demo berikut.
Apalagi kemudian, akan ada aksi bela Islam selanjutnya yang akan diadakan pada Jumat, 2 Desember 2016. Aksi ini akan diikuti dengan jumlah massa yang jauh lebih besar dari aksi-aksi sebelumnya. Tentu resiko juga akan makin besar. Bisa jadi akan ada para penyusup di luar para ulama yang jelas tidak memiliki kepentingan politik sedikitpun. Kehadiran para penyusup ini bisa mengacaukan suasana unjuk rasa yang damai dan tertib. Dalam situasi demikian, biasanya tindakan anarkis tak bisa dibendung.
Dalam pemikiran kami, maka perlunya pemerintah ikut hadir dalam aksi unjuk rasa itu. Kami merasa perlu, negara hadir di tengah-tengah riuhnya para peserta demonstrasi agar bisa meredam segala dampak negatif yang terjadi. Lebih bagus lagi, kesejukan akan muncul jika Presiden Joko Widodo hadir bersama kita semua dalam aksi itu. Pemerintah negara menyatu bersama kita.
“Kami ingin tetap menjaga kondusivitas kehidupan berbangsa dan bernegara serta senantiasa memelihara ukhuwwah dan persaudaraan. Jangan sampai ada aksi anarki mengatasnamakan agama.”
Di Banjarmasin, saya gelisah. Otak saya berputar dan terus berputar. Ini situasi kritis. Jutaan massa akan berkumpul menjadi satu menumpahkan amarah kepada satu tokoh yang dinilai melakukan kesalahan yang luar biasa fatal. Api amarah akan membesar. Jangan cari akar masalah, karena itu sudah lewat, akan tetapi kita harus cari solusi. Agar api amarah itu sampai tak berkobar hingga menghanguskan negeri ini. (bersambung)