Mulai hari ini, Redaksi AKSI KATA akan menurunkan tulisan dalam buku 212 Undercover. Buku yang bercerita tentang kesaksian seorang Habib terhadap peristiwa Aksi 212. Aksi 212 adalah sejarah fenomenal yang melibatkan jutaan umat muslim di tanah air. Namun, tak banyak yang tahu peristiwa di baliknya.
Adalah Sayyid Abdul Qadir Thoha Ba’aqil, seorang tokoh masyarakat yang dikenal sangat peduli dengan persatuan bangsa bergerak untuk mencari solusi dari rentetan peristiwa itu.
Habib Qadir, demikian dia disapa, tak ingin negara luluh lantak. Apalagi, dia melihat negara asing sudah bersiap-siap memanfaatkan situasi dari kericuhan yang terjadi. Karena itulah Habib menelurkan gagasan, agar negara hadir di tengah-tengah rakyatnya. Negara dalam hal ini adalah pemimpin negara.
“Saya berkesimpulan buku ini tak saja penting, tapi juga menarik. Mengapa penting? Karena siapa sih kita yang tidak ingin mengetahui fakta-fakta di balik peristiwa Aksi 212 di Monas yang sangat bersejarah itu? Dan mengapa menarik? Sebab buku ini mengisahkan ‘kolaborasi’ seorang habib di Banjarmasin dan Kepala BIN Daerah Kalimantan Selatan yang berusaha menembus “lingkaran dalam Istana” untuk sebuah tujuan mencegah Aksi 212 berakhir ricuh,” demikian diungkapkan Dr. Bagus Sudarmanto, M.Si, seorang Wartawan Senior, Dosen sekaligus Pegiat Komunikasi Publik.
Berikut nukilan isi buku yang ditulis oleh Sri Wulandari dan Evieta Fadjar P ini :
Kesaksian Ustadz Tawfiqur Rahim, anggota Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Kalimantan Selatan dan Sekretaris MUI Kalimantan Selatan Sekretaris MUI Banjamasin:
Peristiwa Aksi 212 berawal dari salah ucap yang dilontarkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi isu lokal kemudian berkembang menjdi isu nasional. Dari peristiwa itu memercikan bara api dan tercium bibit-bibit perpecahan yang berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa.
Atas ucapan Ahok itu, Selasa, 11 Oktober 2016, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun keluar. Hasil kajian empat komisi itu menyimpulkan pidato Ahok di Kepulauan Seribu itu mengandung unsur penistaan agama, Ahok telah menghina Al Quran dan atau menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.
Fatwa itu seolah melegitimasi kesalahan Ahok dan gelombang massa menuntut sang petahana Gubernur DKI Jakarta itu dipenjara semakin membesar. Berbagai gerakan juga bermunculan dengan satu tujuan, meminta, aparat penegak hukum menindak tegas si pelaku penista agama. Meski, Ahok telah meminta maaf, tetap saja gelombang aksi tak jua berhenti. Bahkan semakin hari semakin membesar dikuti jutaan umat dari berbagai daerah.
Ini adalah situasi yang sangat mencemaskan. Situasi yang tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Karena ini sangat sensitif sifatnya. Mudah tersulut. Massa diamuk amarah. Kemarahan itu sudah menjadi bara yang setiap saat bisa menjadi api, berkobar dan membakar siapa saja. Tak hanya di Jakarta, di pusatnya sana, tetapi sama halnya yang terjadi di Kota Banjarmasin, Kalimatan Selatan.
Jika ribuan massa tak terkendalikan, maka bisa dibayangkan jika terjadi benturan. Jiwa massa akan terbentuk dan emosi akan meledak bersama. Psikologi massa mudah sekali terbakar dan kehilangan rasionalitas. Apalagi, polisi juga telah mencium akan ada elemen-elemen tertentu yang berniat melakukan tindakan anarkis dan membuat kerusuhan.
Ya, negara dalam kondisi genting. Kami takut, aksi itu berujung pada terjadinya perpecahan.
Kami takut, kami cemas dan khawatir, kalau people power sampai muncul dan kelak akan kami sesali sendiri. Karena itulah, semua harus mengambil langkah cepat. Kita sebagai warga negara yang cinta perdamaian, cinta ketentraman, cinta tanah air ini, dan tetap menginginkan Indonesia menjadi satu, maka harus mengambil langkah, harus bertindak untuk bersama-sama menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan. (bersambung)