JAKARTA, AKSIKATA.COM – Neta S Pane, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) menilai Kapolri Idham Azis terlalu menganggap remeh soal hak prerogatif Presiden Joko Widodo. Hal ini terkait penunjukan Irjen Boy Rafly sebagai Kepala BNPT.
Menurut Neta, dalam siara persnya, sesungguhnya hak prerogatif Presiden punya wewenang untuk memperpanjang masa jabatan Komjen Suhardi Alius sebagai Kepala BNPT atau menyerahkan jabatan Kepala BNPT kepada figur nonpolisi.
“Seharusnya Kapolri memproses pergantian Kepala BNPT itu sama seperti memproses Kapolda Kepri Irjen Andap menjadi Irjen Kementerian Hukum dan HAM, sehingga Kapolri tidak terkesan memfaitaccompli Presiden Jokowi,” ungkap Neta, Senin (4/5/2020).
Dijelaskan Neta, dalam memproses Andap, Jokowi lebih dulu mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No: 772/TPA Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan pengangkatan dari dan dalam jabatan pimpinan tinggi Madya di lingkungan Kemenhumhan.
Lalu disusul dengan keluarnya surat Kemenkumham tanggal 30 April 2020 tentang pelaksanaan pengambilan sumpah dan janji jabatan Andap sebagai Irjen Kemenkumham. Setelah itu barulah keluar TR Kapolri Nomor ST/1378/KEP./2020 tertanggal 1 Mei 2020 yang memutasi Andap sebagai Kapolda Kepri dan menunjuk pejabat baru sebagai penggantinya.
Dikatakan lebih lanjut, dalam mengganti Suhardi Alius dan mengangkat Boy Rafly sebagai penggantinya, Jokowi belum mengeluarkan Keppres untuk BNPT. Padahal berdasarkan Perpres Nomor 46 Tahun 2020 tentang BNPT disebutkan bahwa pengangkatan Kepala BNPT dilakukan oleh Presiden. Jabatan Kepala BNPT juga bisa diisi oleh selain aparat kepolisian. Artinya non pegawai negeri juga bisa menjabat posisi tersebut.
“Sebab berbagai jabatan strategis di BNPT saat ini diduduki 18 pejabat dari Kementerian/Lembaga, yang punya kesempatan yang sama untuk menjadi Kepala BNPT. Lalu kenapa Kapolri buru buru mengeluarkan TR penggantian Kepala BNPT, sebelum Presiden mengeluarkan Keppres. Seolah BNPT di bawah Kapolri. Seolah Kapolri lupa bahwa BNPT merupakan lembaga di bawah Presiden dan penggantian kepalanya adalah hak prerogatif presiden. Inilah yang membuat penunjukan Boy Rafli cacat administrasi,” paparnya
Dalam kondisi krisis di tengah pademi Covid 19 sekarang ini, Neta berharap, presiden juga mencermati dinamika terorisme. Dalam artian pola deradikalisasi yang digalang BNPT jangan sempat kendor dan ceroboh. Sebab bisa menimbulkan masalah baru di masyarakat. Yakni, selain menghadapi kesulitan ekonomi dan maraknya kriminalitas, masyarakat harus pula menghadapi aksi aksi teror.
Selama ini apa yang dilakukan Suhardi di BNPT sudah cukup baik. Aksi aksi teror menurun drastis. Para mantan napi terorisme sangat mengapresiasi kinerja dan pola pembinaan yang dilakuan Suhardi, yang menggunakan pola soft power approach, terutama dalam membina dan mendekati para mantan napi terorime kelas berat. Sebelumnya para mantan napi teroris itu banyak yang trauma dengan Densus 88. Tapi begitu dibina Suhardi, mereka merasa nyaman. Terbukti aksi teror di Indonesia saat ini cenderung landai.
Ke depan, BNPT diharapkan tetap profesional dan harus bisa melanjutkan program kerja yang ada, dimana pola deradikalisasinya bisa melakukan pendekatan dengan hati tanpa mengedepankan pola hard power approach. Pola soft power yang diterapkan Suhardi selama ini di BNPT perlu dilanjutkan, apalagi pola itu saat ini sudah menjadi rujukan internasional dalam melakukan deradikalisasi terhadap napi terorisme.