JAKARTA, AKSIKATA.COM – Kabar gembira datang dari Tsamara Amany. Politisi muda dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) akan melanjutkan pendidikan S2 di New York University (NYU).
Kabar itu terungkap dalam akun resminya di twitter @TsamaraDKI.
“Setelah berpikir panjang untuk terima offer NYU atau Columbia, alhamdulillah akhirnya mantap pilih NYU sebagai tujuan studi S2. Bersyukur bisa kuliah di sini dg Fulbright scholarship. Senang bgt akan segera kembali kuliah! Semoga Covid-19 segera selesai,” kata Tsamara, dikutip dari unggahannya, Senin (20/4/2020).
Tsamara mengaku sebelumnya sempat bimbang antara memilih antara universitas yang didirikan tahun 1831 ini atau memilih bersekolah di Columbia. Namun sejak awal dirinya memang fokus mencari pendidikan di daerah New York. Untuk diketahui, suami Tsamaaa, yakni Ismail Fajrie Alatas dikenal sebagai profesor studi kajian Islam dan Timur Tengah di NYU.
NYU memiliki 13 kelas, fakultas dan divisi dengan program studi favorit seperti seni liberal, sains, pendidikan, profesi kesehatan, hukum, kedokteran, bisnis, seni, komunikasi, pelayanan sosial dan seni pertunjukan.
Kamousnya menempati lima lokasi utama di Manhattan. Hingga saat ini, total jumlah mahasiswanya mencapai 50.917 orang dengan 3.892 yang kebanyakan merupakan mahasiswa internasional.
Menurut Tsamara, ada sekitar lima kampus dia mendaftar. Karena fokus belajar public policy (kebijakan publik) & media studies, Tsamara pun apply di tiga department di NYU & Columbia SIPA. “Bersyukur pula diterima di seluruh department yang aku apply di NYU & diterima pula di Columbia SIPA,” kata Tsamara.
Setelah merenungkan tujuan akademis dan diskusi dengan banyak pihak,Tsamara akhirnya menjatuhkan pilihannya pada NYU. “Sebenarnya fokus public policy yang aku pengen pelajarin apa sih? Aku ingin fokus belajar urban policy karena selama ini aku tertarik dengan kebijakan daerah urban seperti Jakarta. SIPA is #1 for global policy, but NYU Wagner is #1 for urban policy,” tandas wanita cantik berusia 23 tahun ini.
Tapi yang Tsamara pilih justru bukan NYU Wagner namun NYU Gallatin. Pasalnya dia belajar ketika Pemilu tahun lalu bahwa public policy itu tidak bisa diambil hanya berdasarkan asumsi pembuat kebijakan.