Sofyan Basir Bebas, IPW : Sudah Mendesak Badan Pengawas KPK

JAKARTA, AKSIKATA.COM –  Mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir, Senin, 4 November 2019, divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Korupsi (Tipikor) atas kasus korupsi PLTU Riau yang didakwakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Atas fakta tersebut  Neta S Pane,
Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) menyatakan, hal itu tidak hanya mempermalukan para penyidik kepolisian di KPK, tapi juga sekaligus membuka aib lembaga anti rasuha itu yang selama ini dicurigai tidak profesional, penuh rekayasa, bermain politik, dan tidak taat asas alat bukti.
Dalam siaran persnya yang diterima Redaksi AKSI KATA, Selasa, 5 November 2019, Neta mengatakan dengan adanya kasus Sofyan Basir ini, maka keberadaan Dewan Pengawas di KPK semakin mendesak dan diperlukan agar lembaga anti rasuha itu tidak melenceng dari sistem hukum.
“Selain itu, keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai penjabaran UU KPK hasil revisi semakin diperlukan. Tujuannya agar KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi benar benar profesional dan independen. Dalam memutuskan sebuah perkara benar-benar berdasarkan alat bukti dan bukan berdasarkan voting. Sehingga hasil kerja KPK benar benar berdasarkan asas keadilan dan bukan mempolitisasi, apalagi mengkriminalisasi lawan-lawan politik,” urai Neta.
Menurut dia, Dewan Pengawas harus bisa menjaga marwah KPK yang profesional dan independen, sehingga semua perkara yang dimajukannya ke Pengadilan Tipikor tidak ada celah untuk dikalahkan majelis hakim.
“IPW juga memberi apresiasi pada majelis hakim Pengadilan Tipikor yang sudah membebaskan Sofyan Basir karena tidak terbukti bersalah,” ucapnya.
Diakui Neta, selama ini IPW menilai, hakim Tipikor cenderung takut memberi keputusan yang profesional dan independen. Mereka sangat khawatir menjadi korban balas dendam dan Target Operasi oknum oknum KPK. “Padahal IPW melihat ada sejumlah kasus yang diajukan lembaga anti rasuha itu sangat lemah alat buktinya. Dalam kasus Sofyan Basir misalnya, sejak semula IPW mendapat informasi bahwa perkara korupsi itu dilimpahkan bukan karena alat bukti yang kuat, tapi karena keputusan voting. Satu komisioner tidak setuju perkara Sofyan Basir dilimpahkan, satu abstain, dan tiga mendesak agar perkara itu segera dilimpahkan. Akibat Sofyan Basir berperkara dengan KPK, Program Listrik Pedesaan Presiden Jokowi menjadi terhenti hingga kini,” paparnya.
IPW berharap, dengan adanya UU KPK yang baru dan bertugasnya Komisioner KPK yang baru, para penyidik kepolisian di KPK maupun para hakim di Pengadilan Tipikor bisa bekerja profesional dan independen serta tidak khawatir lagi menjadi korban aksi balas dendam dan kriminalisasi oknum oknum tertentu yang bermain politik atas nama KPK.
Komisioner baru KPK maupun Dewan Pengawas KPK harus mampu membersihkan lembaga anti rasuha itu dari manuver politik pihak pihak tertentu. Sehingga dalam melakukan penegakan hukum, KPK bisa memegang prinsip hukum, “lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah ketimbang menghukum 1 orang yang tidak bersalah”.
“Kasus Sofyan Basir ini harus menjadi pelajaran berharga untuk introspeksi bagi jajaran KPK maupun komisioner yang baru dan Dewan Pengawas KPK agar tidak terulang kembali di kemudian hari,” pungkas Neta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.