JAKARTA AKSIKATA.COM — Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) meluncurkan wacana untuk mengoperasikan O-Bhan, sinergi LRT dan BRT, sebagai transportasi umum untuk mengatasi kemacetan di beberapa kota di Indonesia, tertama Jakarta dan sekitarnya. Sementara, konsep smart city lebih baik diabaikan
dulu.
“Namun, keterbatasan keuangan negara dan kemampuan fiskal daerah menjadi pertimbangannya,” kata Pengamat transportasi Unika Soegijopranoto Semarang Djoko Setijowarno, ST, MT kepada pers di Jakarta, kemarin.
Selain pertimbangan biaya yang tidak sedikit, lanjut dia, belum tentu pemda mau menerima konsep tersebut. Apalagi regulasi untuk menerapkannya belum ada. “Hal ini bisa jadi masalah baru jika belum dilengkapi dengan regulasi,” kaa Djoko lagi.
Teknologi yang tidak murah, menurut dia, masih asing di Indonesia, butuh waktu menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. “Untuk lima tahun ke depan cukup sebagai wacana saja,” jelas dia.
Tahun 2020, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Hubdat), Kemenhub akan meluncurkan program penataan angkutan umum di daerah dengan konsep Pembelian Layanan atau buy the service.
Program ini rencananya akan diberikan pada 6 perkotaan, yakni Medan, Palembang, Solo (Subosukowonosraten), Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar (Sarbagita). Konon, alokasi anggaran sudah disiapkan.
Selama ini (lebih dari 10 tahun) daerah hanya dibagikan sejumlah armada bus. Tidak menimbulkan layanan angkutan umum yang bagus di daerah. Pasalnya, tidak ada pola pembinaan dan pengawasan dari pusat.
“Meskipun, penataan angkutan umum sudah diamanahkan dalam UU 22/2009 tentang LLAJ, RPJMN 2015-2019 dan Rencana Strategi Kemenhub 2015-2019,” papar Djoko lagi.
Program ini (membeli layanan angkutan umum) tidak akan banyak menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum jika sedini mungkin dilakukan sosialisasi. Sopir akan mendapat gaji bulanan, tidak dipusingkan dengan setoran pada pemilik armada.
“Sementara, pemilik armada bergabung dalam satu badan hukum yang menjadi operator dan diberikan keuntungan dari biaya operasional yang diselenggarakan,” kilah Djoko.
Program ini murah, menurut anggota MTI itu, karena setiap koridor menghabiskan biaya operasional per tahun kisaran Rp15 miliar hingga Rp25 miliar. Tergantung pilihan jenis armada yang dioperasikan dan headway yang ditetapkan.
Serap Banyak Tenaga Kerja
Setiap koridor dapat mempekerjakan 150 -200 pekerja tetap. Selain itu (konsep memebli layanan angkutan umum), papar Djoko, tidak perlu lagi harus membangun prasarana khusus, cukup dengan jaringan jalan yang sudah.
“Tidak perlu ada bangunan halte, jika belum punya anggaran, cukup diberikan rambu pemberhentian bus ( stop bus). Pilihan bus berlantai rendah (low deck) atau nomal (normal deck). Bus jenis ini sudah banyak dioperasikan oleh PT Trans Jakarta dan bikinan karoseri dalam negeri,” terang Djoko menjawab AKSIKATA.COM.
Mudah berarti tidak memerlukan teknologi baru, cuma sistemnya yang baru. Konsep ini memindahkan atau mengalihkan dari sistem setoran ke sistem gaji bulanan, bukan menggusur operator yang sudah beroperasi.
“Operator (angkutan umum) yang ada tetap beroperasi dengan pola manajemen baru yang lebih sehat. Dengan begitu, akan memperkeil resistensi dari operator angkutan umum yang sudah ada sebeblumnya,” tegas Djoko.(HELMI)