JAKARTA, AKSIKATA.COM- Tim Pembela Demokrasi (TPDI) menyoroti gugatan pemilu pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke Mahkamah Konstitusi (MK) pasca Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan Joko Widodo-Maruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2019-2024 versi real count.
Koordinator TPDI, Petrus Selestinus mengatakan, pihaknya mencermati model MK ke depan yang dicita-citakan oleh tim kuasa hukum 02 dan kubu 02 itu sendiri.
Kata Petrus, MK yang diidam-idamkan oleh Bambang Widjojanto dan Kubu 02 adalah MK yang dalam memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2019 boleh terjun bebas tanpa pembatasan oleh UU.
“Termasuk bebas pula memperluas dan mencaplok kewenangan Bawaslu, KPU, DKPP, Gakumdu, Pengadilan TUN dan Mahkamah Agung guna memutus sengketa Pelanggaran Pemilu, Sengketa Proses Pemilu dan Sengketa Hasi Pemilu Pilpres 2019,” ujar Petrus kepada wartawan di Jakarta, Senin (3/6/2019).
Padahal kata Petrus, UU Pemilu sudah membagi tiga kategori permasalahan pemilu, yaitu pelanggaran pemilu seperti pelanggaran Kode Etik, Administratif dan pelanggaran terhadap Peraturan Perundang-undangan lainnya, Sengketa Proses Pemilu dan Perselisihan Hasil Pemilu.
“Untuk pelanggaran pemilu menyangkut aspek pidana maka menjadi domain Bawaslu, Gakumdu dan Pengadilan Negeri dan seterusnya,” katanya.
Dikatakan Petrus, jika terkait dengan pelanggaran Administratif Pemilu maka wewenangnya ada pada Bawaslu dan Mahkamah Agung, sedangkan pelanggaran Kode Etik menjadi wewenang DKPP.
“Sengketa Proses Pemilu menjadi wewenang Bawaslu dan Pengadilan TUN, sedangkan Perselisihan Hasil Pemilu menjadi wewenang MK, itupun hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon,” katanya.
Petrus menegaskan, meskipun UU sudah membagi kewenangan menangani masalah Pemilu secara proporsional bagi masing-masing institusi, akan tetapi Bambang Widjojanto, dkk. dalam Surat Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu telah menggunakan kata-kata yang bersifat menghina MK sebagai “Mahkamah Kalkulator” karena hanya berurusan dengan angka-angka.
Padahal kata Petrus, dilihat dari kewenangan MK menurut UUD 1945, UU MK, dan UU Pemilu, maka wewenang MK secara tegas dibatasi hanya untuk memeriksa dan mengadili Sengketa Hasil Pemilu berupa, “kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon” dan “permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon”.
Oleh karena itu kata Petrus sangat berbahaya kalau MK mau dijadikan sebagai Lembaga Peradilan Superbody dengan kekuasaan yang tidak tak terbatas termasuk boleh memperluas dan mecaplok kewenangan organ-organ Penyelenggara Pemilu PTUN, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung sebagaimana keinginannya itu dapat dibaca pada halaman 9 dan 11 Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tanggal 24 Mei 2019, dengan dalil untuk menegakkan hukum dan keadilan serta prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum sesuai ketentuan pasal 24 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Bagaimana MK dapat menyelesaikan itu semua hanya dalam 14 hari sidang untuk semua jenis pelanggaran dan sengketa, tentu hanya lembaga superbody saja yang bisa,” katanya.
Petrus menilai, jika Bambang atas nama Capres 02 hendak menjadikan MK sebagai Lembaga Peradilan “superbody” yang boleh mencaplok kewenangan Institusi lain yang sudah dikapling-kapling oleh UU Pemilu seperti KPU, BAWASLU, GAKUMDU, Pengadilan Negeri, PTUN dan Mahkamah Agung, untuk menyelesaikan seluruh pelanggaran dan sengketa pemilu, maka Bambang Widjojanto cs sesungguhnya telah terjebak dalam cara berpikir hukum progresif yang sesat yang merusak sistim dan tata hukum itu sendiri.
“Karena kewenangan MK sudah dibatasi secara limitatif hanya pada sengketa hasil pemilu, itupun hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon,” katanya.
Oleh karena itu Permohonan Bambang Widjojanto cs ke MK selayaknya dicabut dan ditujukan kepada DPR untuk mengubah UU Pemilu dan UU MK melalui proses legislasi menuju MK yang superbody. (Holang)